Akhirnya menjelang  tengah malam terjadilah angin dan badai besar, menerbangkan jiwa dari kemah tersebut, dan kemudian masuk dalam tubuh di bumi. Persis saat terbangun pagi hari jiwa itu sudah memiliki tubuh, dan hadir di dunia.
Inilah narasi {"Er"}, tetang sikap tubuh di tuntun jiwa supaya tidak binasa, kita patuh pada titah {"Lachesis"), pilihan kita masing-masing pada nasib, supaya selamat dari air sungai {"Kelupaan"},dan jiwa tidak rusak tercemar oleh sikap ketidakadilan. [621c] And it will save us303 if we believe it, and we shall safely cross the River of Lethe, and keep our soul unspotted from the world.304 But if we are guided by me we shall believe that the soul is immortal and capable of enduring all extremes of good and evil, and so we shall hold ever to the upward way and pursue righteousness with wisdom always and ever, that we may be dear to ourselves305"}.
Demikianlah narasi Buku 10 Republic Platon melegitimasi kewajiban manusia berbuat adil atau tidak adil merupakan  hak  pilih tiap individu masing masing pada saat di alam praeksistensi tubuh manusia. Narasi pada  seorang pahlawan {"Er"}, putra  Armenius, yang menjelaskan  tentang {"proses") nasib manusia melalui tiga tatanan waktu (lalu, sekarang, dan mendatang). Pahlawan  {"Er"}, telah mati selama 10 hari dan pada saat hendak dimakamkan pada hari ke 12 tiba-tiba hidup kembali. Pengalaman kematian selama 12 hari ini kemudian dicatat dalam bentuk mitos Buku 10 Platon. Pengalaman pahlawan {"Er"}, selama 12 hari meninggal telah memiliki pengalaman bersama-sama  manusia yang sudah mati (tubuh), diadili sesuai tindakan selama didunia, kemudian dibentuk kembali dalam jiwa baru turun kedunia bersifat siklus.  Sebelum turun kedunia maka semua jiwa yang telah memilih nasib sebelumnya, diwajibkan meminum air sungai "lupa".Â
Dengan kelupaan ini maka manusia ketika jiwa masuk dalam tubuh (dunia) maka terjadilah alienasi dan konflik antara jiwa mortal, dengan  immortal. Bahwa fakta empirik atau pengalaman {"Er"} tentang perjalanan nasib (takdir), kesadaran manusia pada realitas waktu saat ini, (maka sangat kecil kemampuan mengingat takdirnya asalinya, dan lebih banyak lupanya. Maka untuk meningat kembali dimensi 3 dimensi waktu tersebut metode filsafat Yunani dikenal sebagai meutika tekne atau intellectual midwife yakni metode teknik bidan dalam membantu kelahiran pengetahuan manusia. Hal ini sesuai dengan profesi Ibunya Socrates sebagai seorang bidan yang bernama Phainarete. Dari sudut pandang ibunya dia kemudian menamai filsafatnya menjadi filsafat kebidanan untuk episteme memperoleh pengetahuan.***)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H