Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dari Metanarasi Gunung Lumut Borneo ke Tanah Jawi untuk NKRI

3 Februari 2018   19:57 Diperbarui: 2 April 2020   00:25 1307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dari Metanarasi Lumut Borneo Ke Tanah Jawi untuk NKRI"*

Pada tulisan sebelumnya saya sudah menjelaskan fenomena metafisik Palangkaraya dan rencana pemerintah memindahkan ibu kota NKRI. Untuk pembahasan pada artikel ini saya memaparkan hasil penelitian saya untuk melangkapi hasil penelitian sebelumnya. Artikel ini merupakan hasil penelitian saya pada tahun 2010-2013 lalu tentang: "Narasi Kaharingan Borneo Metode Realitas Alam, dan Seni Pemahaman Manusia". Tetapi sebenarnya sejak saya masih pipis di celana narasi Kaharingan selalu lekat di mata batin saya, ketika dari satu tempat ke tempat lainnya di (Dusun, Kampung =Ume Taun).  Pada acara ritual Wadian di lakukan acara ini dengan pengalaman  penyatuan  fisik, metafisik, dan melampaui pada  proses hidup, proses setelah kematian, dan kekembalian yang sama secara abadi menurut keadilan, keindahan, dan kebenaran. 

Wadian Kaharingan Dayak Manya'an Borneo adalah mirip hampir sama dengan peran "tradisi Yunani Kuna tentang peran dewa Hermes" sebagai bentuk komunikasi transliterasi memahami makna, duta bahasa antara alam fisik, metafisik, antara manusia, non manusia bahkan melampui pada relasinya "ada dan pengadanya"), tujuannya adalah kesepahaman, dan keharmonisan. 

Banyak bentuk narasi Kaharingan misalnya Wadian Dadas, Wadian Bawo, Wadian Pangunraun, dan lainnya. Tetapi dalam acara siklus Kehidupan manusia maka aktivitas Wadian terbagi dua yakni Wadian Welum (tentang eksistensi Hidup), dan Wadian Matei (dan eksistensi kematian) atau bila ada wadian yang mampu melakukan sekaligus, bahkan melampaui di sebut Wadian sakti mampu memahami tanpa ruang, dan waktu di sebut "Wadian Pamungkur". Nama masih sempat saya saksikan adalah wadian bernama: "Tuleker, Tusalen, Wadian Nini Karya. Bisanya pada siklus kematian ada 3 elemen yang dikatakan adalah: (a) narasi memanggil, (b) narasi keindahan kebaikan keadilan, (c) narasi mengantarkan kekembalian abadi. 

Ada Wadian Pamungkur laki atau perempuan tipe: ikinsai, duduk, sampai wadian bulat mampu mengkontemplasikan dunia dan realitasnya sebagai bentuk meta natural human. Narasi atau meta narasi (baik bahasa bisa sampai bahasa metafora dilarutkan dalam bahasa Pangunraun di awali dari metanarasi Kosmogoni, pencarian relevansi fakta, dan pencarian interprestasi hermenutika semiotika.

Pada narasi kosmogoni dipakai narasi tutur lisan oleh Wadian Kaharingan tentang ontology kosmogoni Borneo dan manusia secara universal. Sekali lagi kualitas metafora bahasa bukan bahasa Indonesia, bukan sepenuhnya bahasa Dayak, tetapi bahasa non kausalitas, bahasa metafisik ("bahasa Dewa Hermes Borneo disebut Pangunraun atau Janyawai"). Untuk memahami artikel ini saya kutip sekilas ringkasan pendek narasi kosmogoni Pangunraun (mohon izin sekalipun saya belum tentu berhak mengucapkan hal-hal ini):

"...Datu mula manta, maharaja mula ulun. Ka'ani dara mula lapeh, suraibu hengkang ulun. Muneng tane tipak sulu, ngumung langit rakun kubus, nyepuk hewuk kala mula, ngu'ut ranu petak watu, ranu gunung madu rahu, watu papat lamura, gunung rueh ipatatai, watu purun panahanar, uhuk dara mula lapeh, suraibu hengkang ulun. Metak ranu madu rahu, lawu tane tipak sulau, welum jari kayu saramelum, tumu malar mangamuan matei, metak lagi ma handrueh, ruruh rimis mangapurun, jari wusi parei gilai, janang wini gunung lungkung, metek lagi mangatalu, jari ilau manyamare, awai supu mangujahan, metak lagi mangapat, jari wundrung amirue, janang lunsing salulungan, metak lagi mangalima, jari nanyu saniang, janang hiang piumung, metak kanamangapat, jari suling wulian, janang riak rayu rungan, metak lagi kepitulempat, jari tumpuk tunyung punu, guha mari dandrahulu".....daya huan unre balai pidudusan, ngahu irunrean jaru tapung jangka. Pidudusan mantir ngurai hukum, tapung jangka patis merang hadat, hukum hadat ma kananeo welum, atur turan ma kalalawah jari...(dan seterusnya).

Sulit memahami teks seperti ini, jika ditafsir secara harafih tentu mudah, ditafsir secara alegori juga masih mungkin. Tetapi jika dipakai bahasa non verbal sebagai sebuah melampaui daya-daya asali perjalanan spiritual sampai tiga puluh tahun baru saya memahami makna dibalik metanarasi universal kosmogoni estetika. Saya dapat sedikit memahami makna kata (causal final, sekaligus kekembalian abadi) yakni metafora "Gunung Rumung Gumi Ipah Bawai/ Balai" dalam cakupan lebih memadai universal umat manusia khususnya hubungan dengan NKRI yang sangat saya cintai dan hormati. 

Apalagi bila diperjelas dengan esensi metanarasi meminjam petunjuk "Nini Punyut Etuh Baringungan pada narasi Nansarunai- "women leadership", nama pemimpin era Kebudayaan Dayak) dan kaitan dengan kemampuan menguraikan kodrat manusia bersifat konvergen atau divergen sampai rekonsiliasinya, menuju kekembalinya secara abadi. Ibarat jika dari Jakarta pulang kampung ke Solo maka supaya selamat membutuhkan banyak aspek, tapi perjalanan itu supaya selamat kita wajib mematuhi rambu-rambu lalu lintas supaya sampai pada tujunnya kira-kira begitulah kongkritnya.

Berikut ini saya memberikan penjelasan berikut ini makna singkat esensi metanarasi "Dari Metanarasi Lumut Borneo Ke Tanah Jawi untuk NKRI" dan keterkaitan dengan Indonesia secara keseluruhan. Saya mengalami keterbatasan waktu dan tenaga belum memiliki data secara populasi riset, jadi studi etnografi ini berlaku generalisasi induksi ke deduksi dalam penyimpulan dan penjelasannya.

Kata kunci seni memahami narasi adalah: (dialektika tanpa suara Dara, dan Datu tanpa cahaya, dan dengan cahaya) tentang "Hang tane Tipak Sulau, Langit Rakun Kabus, Gumpal Riwut Mula, Ranu Gunung Madu Rahu", mengkisahkan dunia paling kecil, langit dikecil sebasar lingkaran biji sesawi, angin lembab bertiup, mencampakkan tanah, maka terjadilah pertemuan air, dan tanah, udara. Maka ketika curah hujan turun, otomatis suhu udara semakin lembab, dan kelembaban ini terus berproses metagenesis hadirnya: "lumut, dan jamur". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun