Unduh, tikus, panel sentuh, layar sentuh. Mungkin kita semua sudah familiar dengan kata-kata itu walaupun mungkin belum terlalu terbiasa dalam penggunaannya. Keempat contoh istilah itu adalah terjemahan bahasa Indonesia dari versi asli Inggrisnya download, mouse, touchpad, dan touchscreen.
Lalu bagaimana dengan “surel”? Ada yang tahu apa itu “surel”? Pertama kali bertemu kata itu saya mengerutkan kening dan baru mengerti apa artinya setelah membaca seluruh tulisan yang memuat kata itu. Ternyata yang dimaksud dengan “surel” adalah surat elektronik alias email. Dalam hati saya bertepuk tangan, boleh juga yang menerjemahkan istilahnya.
Kita memang harus sadar bahwa teknologi tersebut awalnya tidak diciptakan di Indonesia, tetapi di Amerika. Oleh karena itu, semua istilah sudah sewajarnyalah menggunakan bahasa Inggris. Dan karena bukan novel yang bisa diterjemahkan dahulu sebelum diterbitkan, istilah-istilah ini langsung jatuh ke tangan para pengguna yang dengan serta merta mengadopsi dari bahasa asalnya. Untungnya, sejak beberapa saat yang lalu sudah mulai dibuat padanan kata dalam bahasa Indonesia untuk istilah-istilah tersebut. Beberapa diantaranya adalah seperti yang sudah saya sebutkan di atas. Istilah-istilah terjemahan ini makin bertambah banyak dan lengkap ketika beberapa situs besar seperti Facebook, Google, dan Yahoo bahkan Wikipedia membuat versi Indonesia dari situs-situs mereka. Tidak tanggung-tanggung, Google bahkan mempunyai versi bahasa Jawa dari tampilannya!
Bagi sebagian atau mungkin kebanyakan orang, istilah-istilah terjemahan ini sangat mengganggu dan tidak bersahabat di telinga sehingga terkesan menyulitkan dan membingungkan. Bukannya ingin sok keinggris-inggrisan, tapi saya juga harus mengakui kalau kadang terbentur dengan kebingungan ketika harus menyesuaikan telinga, mata dan otak dengan istilah Indonesianya. Bagaimana tidak? Istilah copy dan paste sudah begitu mendarah daging, jadi ketika melihat kata “salin”dan “tempel”, otak ini harus berpikir dahulu selama beberapa detik sebelum mengerti maksudnya.
Walaupun begitu, saya sangat menghargai dan mendukung penerjemahan istilah-istilah tersebut. Ada dua alasan untuk itu. Pertama, Indonesia sudah sangat terkenal sebagai negara yang sangat gampang mendewakan istilah Inggris. Betapa banyak nama tempat, gedung, pertokoan, dan acara-acara televisi yang menggunakan bahasa Inggris. Bahkan ketika mengadopsi acara kuis terkenal Who Wants to be A Millionaire ke televisi Indonesia, RCTI memutuskan untuk tetap mempertahankan judul aslinya dalam bahasa Inggris padahal hampir semua negara lain judul acara ini diubah ke bahasa lokal. Kenapa?
Alasan kedua adalah rasa nasionalisme dan bangga akan bahasa Indonesia. Jujur sampai beberapa tahun lalu saya adalah salah seorang yang menganggap bahwa terlalu penerjemahan istilah teknologi terlalu dipaksakan. Mungkin akan banyak yang berpendapat lucu, aneh, dan tidak keren kalau istilah-istilah itu diubah ke dalam bahasa Indonesia. Tetapi masalahnya adalah istilah-istilah itu terasa lucu karena kita belum terbiasa mendengarkannya. Setelah beberapa saat, saya yakin kita pasti akan terbiasa menggunakannya.
Sekarang saya merasakan kebanggaan tersendiri ketika melihat makin banyak kosakata terjemahan bermunculan di berbagai halaman di internet. Kosakata seperti pranala, tembolok, laman, sunting, mengembalikan romantisme bahasa Indonesia bagi saya. Terlebih lagi, semua kosakata itu memperkaya pengetahuan berbahasa saya dengan cara yang tidak membosankan dan sebaliknya sangat menyenangkan.
Harus diakui, saya masih menggunakan halaman versi Inggris bila membuka surel maupun berbagai media sosial lainnya. Namun saya juga mulai berusaha untuk selalu mengetahui apa padanan kata Indonesia dari setiap kata yang tertulis di halaman itu.
Teringat kembali di benak saya sebuah artikel yang memuat tentang rasa iri para ilmuwan Malaysia terhadap ilmuwan Indonesia di sebuah seminar internasional karena para ilmuwan Indonesia dapat menulis dan mendiskusikan sebuah topik ilmiah dengan bahasa Indonesia sedangkan para ilmuwan Malaysia harus bergantung kepada bahasa Inggris.
Bila pengakuan itu benar adanya, maka makin yakinlah saya bahwa kita perlu belajar banyak dari Malaysia. Bukan dari apa yang sudah berhasil mereka lakukan, tetapi dari apa yang mereka tidak punya. Mungkin diantara masyarakat Indonesia tidak banyak yang menyadari betapa berharga bahasa Indonesia yang saat ini ada. Mungkin mereka baru akan tersadar ketika suatu hari kita terbangun dengan begitu banyak istilah Inggris di sekeliling kita.
Mari terus jaga bahasa Indonesia kita tercinta. Marilah kita terus perkaya kosakatanya. Buktikan bahwa bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang kaku dan mati begitu saja diterpa perkembangan zaman, melainkan bahasa yang lentur beradaptasi dan berevolusi menembus waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H