International Stadium, Yokohama, Jepang, 30 Juni 2002. Seluruh pemain Jerman tertunduk lesu. Di tengah perasaan sedih, Oliver ‘Oli’ Kahn, penjaga gawang sekaligus kapten tim nasional Jerman coba menenangkan teman-temannya. Dua gol Ronaldo de Lima membungkam barisan pendukung Jerman yang hadir langsung di stadion atau menyaksikan lewat layar kaca. Brasil berhasil meraih Piala Dunia kelimanya malam itu. Jerman sendiri bukanlah tim yang populer di perhelatan bersangkutan. Banyak yang menilai, keberhasilan Jerman mencapai babak final Piala Dunia 2002 hanyalah akibat peruntungan baik semata dan kehebatan Oliver Kahn di bawah mistar gawang. Kahn sendiri akhirnya didaulat menjadi pemain terbaik turnamen.
Kemenangan Brasil dinilai bukan semata kemenangan sebuah negara atas negara lain. Keberhasilan Brasil menundukkan Jerman dinilai pula sebagai kemenangan “jalan pedang” yang dipilih sebagai filosofi sepakbola Brasil. Robert Da Matta, seorang antropolog asal Brasil, menulis buku yang berjudul O que faz o Brasil, Brasil? Dalam bukunya, Da Matta memperkenalkan filosofi sepakbola Brasil yang dinamakannya Jeitinho. Jeitinho diterjemahkan sebagai “jalan yang lain”. Da Matta menjelaskan, Jeitinho adalah lawanan terhadap sepakbola Eropa yang sistematis dan terencana. Jeitinho mengandalkan kreativitas individu dan kebebasan berekspresi yang spontan di lapangan ketimbang ketaatan terhadap taktik yang digariskan pelatih. Hal ini berkelit kelindan dengan cara bermain tim nasional Brasil yang disebut jogo bonito: sepakbola “tak teratur” nan indah.
Tidak seperti Brasil dan kebanyakan negara Amerika Latin, mayoritas negara di Eropa memang mengandalan sistematisasi dan perencanaan yang ketat dalam membangun sebuah tim sepakbola. Keberhasilan sebuah tim disusun beradasarkan analisis ketat terhadap data-data statistik. Persiapan sebuah tim berarti pula sebuah hitungan matematis yang detil dan terukur. Tak heran, “kekakuan” filosofi sepakbola Eropa memang lahir di benua biru itu sendiri. Charles Reep, seorang anggota militer sekaligus akuntan asal Inggris, adalah orang yang pertama kali menggunakan angka-angka secara ketat dalam sepakbola.
Sebelum bergelar sebagai pionir analis sepakbola, Reep adalah seorang akuntan yang bergabung di kesatuan Royal Air Force (RAF) Inggris. Reep bergabung ke dalam Divisi Akuntansi RAF. Hidup Reep berubah ketika suatu malam di tahun 1933, divisi Reep kedatangan tamu istimewa. Tamu istimewa tersebut adalah Charles Jones, kapten Arsenal besutan Herbert Chapman yang legendaris di masa itu.
Cerita Jones soal sistem permainan Arsenal membuat Reep terpukau. Reep banyak bertanya soal detil taktik yang disiapkan Chapman untuk Arsenal. Seketika, Reep mempunyai ide untuk membuat “anotasi” dari setiap detil yang terjadi dalam sebuah pertandingan sepakbola. Seorang analis sepakbola telah lahir untuk pertama kalinya. Analisis pertama Reep baru hadir tujuh belas tahun sejak pertemuannya dengan Jones. Pada 18 Maret 1950, Reep menganalisis pertandingan antara dua tim Inggris, Swindon melawan Bristol Rovers. Reep mencatat detil setiap kejadian di lapangan. Sebagai contoh, Reed menjabarkan setiap umpan yang terjadi dalam pertandingan itu: jaraknya, arahnya, hasil dan setiap posisi di lapangan di mana sebuah umpan berasal dan berakhir. Reed kemudian melakukan hal yang sama dalam lebih dari 2.200 pertandingan selama karirnya. Dalam Piala Dunia 1958 di Swedia, Reed menghasilkan magna opus-nya dalam sebuah makalah setebal lima puluh halaman yang berisikan detil setiap pertandingan.
Pada tahun 1968, bersama-sama dengan Bernard Benjamin, Reed menulis makalah ilmiah berjudul ‘Skill and Chance in Association Football’. Tulisan yang dimuat dalam jurnal statistika bergengsi di Inggris, Journal of the Royal Statistical Society tersebut sering dinilai sebagai jurnal ilmiah sepakbola pertama. Dalam tulisan yang menganalisis pengamatan Reed dalam ribuan pertandingan dari tahun 1953 hingga 1967 tersebut, Reed dan Benjamin menyimpulkan bahwa beberapa aspek dalam sebuah pertandingan sepakbola membentuk pola numerik yang stabil. Meskipun demikan, mereka tetap percaya bahwa sepakbola tetap saja bersifat stokastik (acak): satu dari sembilan tembakan ke gawang akan menghasilkan gol, tapi tembakan yang mana tetaplah sesuatu yang sulit untuk diprediksi.
Reed dan Benjamin juga menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa efisiensi adalah faktor penting untuk memenangkan pertandingan. Reed dan Benjamin menyimpulkan, berdasarkan data statistik, hanya 8,5% skema umpan-mengumpan yang dapat melebihi tiga operan tanpa direbut lawan. Dengan kata lain, melakukan banyak operan dalam sebuah skema umpan-mengumpan –lebih dari tiga kali- adalah tidak efisien. Simpulan Reed dan Benjamin ini melahirkan filosofi yang sering dipakai oleh tim Eropa, direct football: umpan-mengumpan diminimalisasi sesedikit mungkin sampai masuk ke kotak penalti lawan.
Warisan Reed hadir hingga kini. Sepakbola moderen bukan melulu soal bakat alam, tetapi bagaimana data-data statistik diolah untuk menciptakan perencanaan yang matang dari sebuah tim. Perencanaan tidak melulu juga soal taktik untuk sebuah pertandingan. Data-data numerik diolah pula untuk mempersiapkan sebuah tim sejak di tahap latihan. Jerman adalah salah satu contoh tim yang menggunakan secara ketat metode ini. Sejak lama tim nasional Jerman menjalin kerjasama dengan Adidas miCoach Elite Team System untuk selalu memonitor performa pemain dari satu pertandingan ke pertandingan lain maupun sejak latihan. Maka, ketika Jerman menghantam Brasil 7-1 di Piala Dunia 2014, hal itu barangkali dapat disimpulkan tidak hanya kemenangan sepakbola terencana Eropa melawan sepakbola ekspresif Amerika Latin, tapi juga sebuah bukti bahwa sepakbola moderen adalah era “sepakbola ilmiah” yang terukur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H