Menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 22 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya, Widyaiswara adalah jabatan yang mempunyai ruang lingkup tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak untuk melakukan kegiatan mendidik, mengajar, melatih PNS yang selanjutnya disingkat Dikjartih PNS, evaluasi dan pengembangan pendidikan dan pelatihan yang selanjutnya disingkat Diklat pada lembaga diklat pemerintah.
Apa sih pengertian mendidik? Apakah sama mendidik dengan mengajar? Lalu bagaimana dengan melatih? Suparlan (2005) memberikan penjelasan sebagai berikut:
Ditinjau dari segi isi, mendidik sangat berkaitan dengan moral dan kepribadian. Ditinjau dari segi proses, maka mendidik berkaitan dengan memberikan motivasi untuk belajar dan mengikuti ketentuan atau tata tertib yang telah menjadi kesepakatan bersama. Kemudian bila ditilik dari segi strategi dan metode yang digunakan, mendidik lebih menggunakan keteladan dan pembiasaan.
Ditinjau dari segi isi, maka mengajar berupa bahan ajar dalam bentuk ilmu pengetahuan. Prosesnya dilakukan dengan memberikan contoh kepada peserta didik atau mempraktikkan keterampilan tertentu atau menerapkan konsep yang diberikan kepada peserta didik agar menjadi kecakapan yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Strategi dan metode yang dapat digunakan untuk mengajar misalnya ekspositori dan inkuiri.
Melatih bila ditinjau dari segi isi adalah berupa keterampilan atau kecakapan hidup (life skills). Bila ditinjau dari prosesnya, maka melatih dilakukan dengan menjadi contoh (role model) dan teladan dalam hal moral dan kepribadian. Sedangkan bila ditinjau dari strategi dan metode yang dapat digunakan, yaitu melalui praktik kerja, simulasi, dan magang.
Mengacu pada rumusan pengertian jabatan widyaiswara pada Permenpan RB Nomor 22 Tahun 2015, kata mendidik dituliskan terlebih dahulu baru kemudian diikuti dengan kata mengajar dan melatih. Terlihat jelas bahwa tanggung jawab untuk mendidik lebih diutamakan dari tanggung jawab yang lain.Â
Hal ini kiranya dapat dipahami bahwa sosok widyaiswara seharusnya bukan hanya fokus pada delivery pengetahuan dan keterampilan saja, namun harus mengedepankan pembinaan sikap dan penguatan karakter. Nah, pertanyaannya sekarang adalah bagaimana strategi seorang widyaiswara untuk melakukan pembinaan sikap penguatan karakter kepada peserta diklat?Â
Berbicara tentang pembinaan sikap penguatan karakter, teringat kembali akan pengalaman ketika mengikuti seminar parenting dengan tema "Menjadi Orang Tua Pembelajar untuk Anak-anak Cerdas dan Tangguh" yang dilaksanakan oleh salah satu sekolah di Deli Serdang Sumatera Utara dan dihadiri oleh ratusan orang tua siswa dan guru.Â
Terus terang timbul rasa terkesan dengan materi yang disampaikan oleh narasumber. Materi tersebut diramu dalam sebuah permainan. Narasumber meminta para hadirin untuk memegang dagu namun pada saat yang sama narasumber memegang dahi. Secara refleks, hampir seluruh hadirin serentak ikut-ikutan memegang dahi. "Jangan-jangan, memang beginilah kita para orang tua dan guru. Hanya bisa menyuruh kebaikan tapi tidak bisa mencontohkan", cetus narasumber dengan nada canda.Â
Permainan seperti ini sebenarnya juga biasa dilakukan pada kegiatan-kegiatan outbond. Sebenarnya bukan permainannya yang membuat terkesan, namun makna yang terkandung melalui permainan sederhana ini. Melalui permainan ini terbukti bahwa hadirin mengikuti instruksi yang terlihat bukan instruksi yang didengar.Â
Otak lebih terstimulus melalui apa yang dilihat dari pada apa yang didengar. Contoh praktik sehari-hari mungkin banyak orang tua yang merokok, namun meminta anaknya agar menjauhi rokok. Namun yang terjadi malah sebaliknya, anak tidak menuruti permintaan orang tua karena masih dilihatnya orang tuanya merokok.Â