Lagi-lagi bangsa ini mendapat seorang Pemimpin yang “gila”. Begitu repotnya Pemerintah dan DPR memilih seorang Gubernur Bank Indonesia (BI), ternyata hasilnya hanya menghasilkan seorang Gubernur BI yang baru, Darmin Nasution, yang hanya dalam hitungan hari sejak dilantik, langsung membuat suatu gebrakan yang “menggemparkan” ekonomi Indonesia secara negative.
Nilai rupiah tiba-tiba anjlog, begitu juga harga saham pada umumnya dan indeks harga saham gabungan turun drastis. Kepercayaan investor baik domestik maupun internasional tiba-tiba menjadi turun sangat signifikan. Walaupun issue itu sudah coba dinetralisir oleh Wapres Budiono bahwa hal itu baru akan terjadi 10 tahun kemudian, tapi dampaknya tidak akan reda dalam waktu dekat.
Inilah “prestasi” pertama yang ditoreh Gubernur BI yang baru yang mempunyai darah Batak itu. Suatu hal yang sangat menjengkelkan banyak orang, baik para pakar ekonomi maupun orang-orang awam seperti penulis. Menjengkelkan, karena dia digaji dengan gaji besar dengan uang rakyat, hanya untuk tambah menyengsarakan rakyat. Padahal saat ini, menjelang bulan Ramadhan, semua kebutuhan pokok sudah meroket naik, bukan cuma “merangkak”, tapi “berlari”, yang memicu inflasi lebih besar dari target pemerintah dan BI sendiri.
Tahukah anda arti dari Redenominasi?. Penulis pun sebenarnya tidak tahu persis. Tapi dari akar katanya, mungkin artinya begini. Nominasi artinya nilai. Re adalah kembali. De artinya pengurangan. Sehingga, mungkin artinya bagi kita orang awam adalah pengurangan kembali nilai rupiah. Penulis juga tidak tahu persamaan atau perbedaan antara redenominasi dengan shanering atau “pemotongan” nilai uang yang pernah dilakukan Indonesia.
Shanering tahun 1966
Penulis masih ingat sekali kejadian lebih dari 54 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1966 atau sekitar tahun itu. Tahun 1965 meletus pemberontakan G-30-S PKI, yang mengakibatkan ekonomi Indonesia luar biasa hancur, yang mengakibatkan inflasi sampai ratusan bahkan mungkin ribuan persen.
Untuk mengatasi masalah penurunan nilai rupiah yang tak terkendali, Pemerintah yang waktu itu masih dalam tahap transisi dari Presiden Soekarno ke Soeharto, melakukan “shanering” atau pemotongan nilai uang. Uang seribu rupiah dihargai menjadi satu rupiah saja atau 1000 berbanding 1. Nilai ini persis yang dilontarkan oleh Darmin Nasution dalam rencana redenominasi rupiah yang menghebohkan itu.
Penulis tahun 1965, waktu itu masih duduk di kelas I SMA di Baturaja Sumatera Selatan. Waktu itu ingin membeli kemeja “tetoron”, bahan sintetsis, yang saat itu terhitung bahan “baru” dan “mewah”. Sebelumnya hanya dikenal pakaian berbahan katun atau kapas.
Harga sebuah kemeja tetoron saat itu (sebelum shanering) adalah Rp.30.000. karena ada shanering, maka harga kemeja itu menjadi Rp.30 saja. Tapi jangan salah, bukan berarti tambah murah, malah sebaliknya menjadi jauh lebih mahal, karena untuk mendapatkan uang Rp 30 (uang baru) memerlukan lebih banyak produk yang pertanian yang dijual. Waktu itu produk yang dimaksud adalah kelapa, salah satu produk kebun orang-tua penulis.
Redenominasi Identik dengan Shanering
Apapun namanya, atau apapun perbedaan istilahnya, yang jelas redenominasi dampaknya akan identik atau sama persis dengan shanering. Harga semua barang akan melonjak tinggi, padahal upah dan gaji, baik pegawai negeri sipil (PNS) maupun karyawan swasta relatif tetap, hanya angka “nol” nya akan hilang tiga buah.
Misalnya gaji anda saat ini adalah Rp.5.000.000. (lima juta) per bulan, akan mampu membeli cabe yang seharga Rp. 50.000 per kg sebanyak 1.000 kg atau satu ton (sengaja mengambil harga cabe yang saat ini mencapai Rp. 50.000/ kg). Bila terjadi redenominasi, maka gaji anda akan menjadi Rp.5.000 (lima ribu uang baru), sedangkan harga cabe menjadi Rp. 100 per kg (seratus uang baru). Akibatnya daya beli anda akan menurun sampai 50 persen, karena dengan gaji anda itu anda hanya akan memperoleh 500 kg cabe.
Kebetulan penulis saat menegtik ini, sambil nonton TV menyaksikan Megawati meledek Pemerintahan SBY karena tidak mampu mengendalikan harga cabe, sehingga harga cabe menjadi Rp.1000 per buah. Kalau mau bikin sambel, pertlu 5 cabe, artinya perlu Rp.5.000. Tentang idea Gubenur BI uang Rp 1000 menjadi Rp. 1. Megawati juga mengkritiknya, membuat penulis ikut terpingkal-pingkal, walau bukan simpatisan Mega atau PDI.
Hal ini tentu akan sangat memberatkan bagi para PNS dan karyawan kecil yang mempunyai penghasilan tetap yang relatif kecil. Mungkin hal ini tidak terasa bagi seorang Gubernur BI, Presiden, anggota DPR, para Menteri dan para pejabat tinggi lainnya, yang gaji atau penghasilannya ratusan juta per bulan. Apalagi bagi seorang koruptor seperti Gayus yang mempunyai uang lebih dari Rp. 100 miliar. Tapi bagi rakyat kecil, hal ini benar-benar akan membuat leher mereka semakin tercekik. Tinggal menunggu waktu saja, cepat atau lambat kejahatan akan semakin meningkat, karena akan semakin banyak pemutusah hubungan kerja atau pengangguran. Orang yang bunuh diri atau membunuh anak-anaknya akan semakin banyak.
Nilai Tukar Rupiah terhadap Mata Uang Asing
Sebagai contoh, dan untuk mudahnya perhitungan, saat ini misalnya satu dolar adalah senilai dengan Rp.10.000 (walaupun nilai sebenarnya saat ini masih Rp.9.000-an per dolar). Nah misalnya, anda mau pergi ke luar negeri, anda memerlukan uang dolar sebanyak US $ 10.000 (sepuluh ribu dolar Amerika). Maka anda memerlukan uang rupiah sebanyak Rp.100.000.000 (seratus juta rp uang sekarang).
Setelah redenominasi, maka uang 1 dolar tidak otomatis menjadi senilai Rp. 10, tapi bisa Rp. 20 atau Rp. 30 uang “baru”. Yang jelas mata uang asing itu, tidak rela nilai uang mereka menjadi lebih rendah terhadap rupiah. Bisa dibayangkan bila kelak nilai rupiah lebih tinggi dari nilai uang Negara-negara Asean misalnya, padahal ekonomi Indonesia kenyataannya lebih rendah dari mereka, baik dalam ekspor maupun impornya.
Singkat kata, ide redenominasi oleh Gubernur BI itu benar-benar tidak dapat dimengerti dan sangat besar pengaruhnya bahkan dapat mengacaukan ekonomi dan perdagangan Indonesia. Karena ketidak pastian, semua pengusaha apalagi yang melakukan impor dan ekspor akan lebih senang memegang uang dolar, yen atau mata uang asing lainnya, tidak memegang rupiah.
Ini artinya nilai rupiah akan dengan sangat cepat “terjun bebas”. Jadi idea Darmin Nasution itu benar-benar, sekali lagi, benar-benar gilaaaaaaaaaaa!!!.
Kalau ini benar-benar terjadi, saya termasuk orang yang pertama mengutuk dan menyumpahi dia samapi tujuh turunan!
Inflasi Indonesia Sesungguhnya Sangat Tinggi
Berbeda dengan yang sering kita selalu “dicekoki” dengan info bahwa inflasi Indonesia dibawah dua digit oleh Pemerintah melalui Biro Pusat Statistik (BPS), adalah bohong besar. Sampai bulan Juli, dikatakan bahwa inflasi Indonesia “hanya” 6 persen, dan optimis tetap 6 persen sampai akhir tahun 2010. Suatu pernyataan yang tidak masuk akal. Tahun 2010, masih lima bulan lagi, belum lagi pengaruh lebaran, natal, tahun baru dll.
Kembali ke tahun 1966, dengan contoh harga kemeja tetoron saat itu sebelum shanering adalah Rp 30.000. Saat ini harga kemeja dengan mutu yang sama sekitar Rp.300.000. Bila tidak ada shanering dimana uang Rp. 1000 menjadi Rp.1, maka harga kemeja saat ini adalah Rp.300.000.000 (tiga ratus juta) per buah. Pembaca kebayang nggak sih, ada kemeja seharga Rp. 300 juta per potong?. Padahal nilai mata uang asing seperti dolar, yen dll, hampir tidak berubah, sehingga tidak aneh bila nilai rupiah semakin lama semakin rendah dalam uang internasional.
Jadi dari tahun 1966 samapi 2010, katakanlahlah kita bulatkan hanya 50 tahun. Sehingga harga kemeja yang semula Rp. 30.000 menjadi Rp. 30.000.000, ada inflasi sebesar 1000 kali atau 100.000 persen. Bila dibagi 50 tahun maka, inflasi Indonesia sebenarnya 2.000 persen per tahun! Nggak percaya kan?. Pemerintah selalu mengumumkan bahwa inflasi hanya dibawah 10 persen per tahun. Suatu kebohongan besar!
Contoh lainnya adalah ongkos bus. Tahun 1976 saat penulis mulai tinggal dan berkerja di Jakarta. Saat itu ongkos bus sekali jalan adalah Rp.25. Saat itu belum ada bus patas atau bus AC seperti saat ini. Saat ini bus non AC adalah Rp.2.500 atau 100 kali lipat atau 10.000 persen dalam waktu 35 tahun atau sekitar 300 persen per tahun. Tetap jauh lebih tinggi dari yang sering diumumkan Pemerintah, bahwa inflasi di bawah 10 persen. Bohong lagi kan?. Kasihan rakyat selalu dibohongi oleh Pemerintah.
Nilai tukar dolar terhadap rupiah pun sangat menurundrsatis. Dulu satu dolar Amerika hanya 387 dolar, sedangkan saat ini 1 dolar bernilai Rp.9.000, bahkan pernah mencapai Rp.12.000. Dulu 1 yen sama dengan 1 rupiah. Sekarang 1 yen lebih dari Rp.100 rupiah (uang baru atau Rp.100.000 uang lama).Ini menunjukkan betapa bodoh dan tidak mampunya para pemimpin negeri ini dalam membangun perekonomian bangsa.
Perlu Biaya Yang Sangat Besar
Bila rencana redenominasi benar-benar dijalankan, artinya perlu biaya pencetakan uang baru yang sangat besar. Dan ini merupakan peluang korupsi lagi. Padahal saat BI mencetak uang nominal Rp.100.000 di Australia, masih belum jelas tentang adanya korupsi karena ada “uang jasa” dari Pengusaha Australia yang mencetak uang tersebut terhadap para pejabat BI.
Belum lagi masalah para pejabat BI sebelumnya yang diduga melakukan berbagai kejahatan, termasuk masalah Miranda Gultom yang melibatkan banyak orang-orang partai di DPR terutama dari PDI, yang menerima cek perjalanann yang beberapa kasusnya seperi Doddy Makmun Murod, sudah disidangkan. Saat ini, kasus tindak lanjutnya yang melibatkan istri mantan Wakapolri, Adang Dorojatun itu, juga tidak jelas ujung pangkalnya.
Menunai Banyak Kontroversi
Gagasan Darmin Nasution itu mendapat reaksi dari berbagai pengemat ekonomi yang tidak setuju dengan rencana redenominasi itu. Rizal Ramli, menyatakan bahwa redenominasi hanya akan menguntungkan orang-orang kaya dan para pengusaha besar, bahkan untuk bespekulasi, tapi tidak untuk rakyat kecil.
Bahkan Rizal Ramli menyatakan bahwa redenominasi akan memudahkan bagi orang-orang yang ingin menyuap para pejabat, karena untuk menyuap secara tunai dengan jumlah milian rupiah, tidak perlu pakai koper besar, cukup dengan tas kecil saja. Kalau dengan cara transfer, akan mudah dideteksi oleh PPATK.
Sementara itu, Kwik Kian Gie, mantan Menteri Bappeneas di Era Megawati yang juga pengamat ekonomi handal Indonesia, sependapat dengan Rizal Ramli, bahwa redenominasi itu hanya akan menguntungkan orang-orang yang banyak uang, tetapi justru sangat menyengsarakan. Lebih lanjut Kwik mensinyalir bahwa ide redenominasi itu adalah untuk menutupi kegagalan Pemerintah dan BI dalam mengendalikan inflasi.
Seharusnya BI Lebih Fokus pada Bidang Moneter
Seharusnya BI lebih fokus pada bidangnya, yaitu moneter. Bagaimana caranya agar nilai tukar rupiah tetap stabil terhadap mata uang asing utama dunia, dengan nilai yang menguntungkan baik bagi konsumen dalam negeri maupun bagi eksportir, sehingga merangsang ekspor untuk menghasilkan devisa yang jauh lebih banyak.
Disamping itu, tugas BI yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana agar suku bunga perbankan di Indonesia semakin rendah, sehingga mampu bersaing dengan luar negeri agar mampu merangsang pertumbuhan ekonomi bangsa. Suku bunga perbankan yang dapat menggerakkan roda perekonomian rakyat untuk lebih banyak menciptakan dan menyerap lapangan kerja. Itu saja, bukan dengan idea-idea gila yang tak mempunyai dasar yang kuat itu.
Depok, 5 Juli 2010
Bakaruddin Is
Selamat menjalankan Ibadah Puasa bagi yang menjalankannya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H