Mohon tunggu...
B
B Mohon Tunggu... Lainnya - Nobody

Terimakasih sudah membaca.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hai, Aku Marjinal

24 Februari 2020   20:28 Diperbarui: 24 Februari 2020   20:27 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hai, perkenalkan namaku Marjinal, umurku baru 10 tahun. Masih bocah tapi  sudah dituntut mengais rupiah sendiri di jalanan. Setiap hari berperang melawan rasa lapar, yang jadi persoalan utama dalam hidupku adalah yang penting besok kami bisa makan. Aku tidak pernah sekalipun merasakan bangku sekolah. Kata Emak, dia tak punya cukup uang untuk menyekolahkan aku dan adikku. 

Tapi temanku yang bersekolah pernah bilang kalau sekarang sudah ada bantuan dari pemerintah. Namun, saat aku tanya pada Emak, dia malah ber-alasan lagi, katanya dia tidak punya uang untuk bayar uang gedung, seragam, beli buku, tas, sepatu, dan tetek bengek lainnya. Aku percaya saja pada Emak karena memang untuk makan saja kadang kami kekurangan. 

Sejak bapak meninggal karena diabetes dua tahun lalu, tiap jam satu dini hari Emak yang menggantikan Bapak kerja dengan karungnya. Menyusuri setiap kampung, mengorek satu persatu tempat sampah orang-orang, mencari botol plastik bekas. Barang yang menurut orang lain tidak berguna sama sekali, bisa jadi begitu berguna bagi kami. Barang  pencemar lingkungan yang susah terurai itu malah jadi barang yang begitu berharga bagi kami.  Kami bisa makan karena barang tidak berguna itu memiliki nilai rupiah saat kami jual ke tengkulak, karena barang tidak berguna itu pula kami selalu menang melawan rasa lapar.

Sedangkan aku tiap pagi bawa sulak, kadang jual beng-beng di lampu merah dekat rumah. Kalau emak belum pulang, kuajak adikku yang masih 3 tahun bermain ria di embongan. Sederhana namun bermakna. Kuajari dia cara menyulak mobil dengan benar, biar nanti kalau sudah gede dengan sendirinya dia ngerti. Aku tidak perlu repot-repot mengajari lagi.

Aku Marjinal, bocah miskin tapi aku punya mimpi. Mumpung mimpi masih gratis, tidak ada batasan untuk siapa, dan tidak perlu selembar kertas nilai, ya kan?  Mimpiku tidak ndakik-ndakik seperti kawan-kawan yang bersekolah. Menurutku mimpi mereka terlalu muluk bagi bocah buta huruf sepertiku, ada yang ingin jadi polisi, TNI, PNS dan guru. Mimpi yang terlalu mimpi buat aku. Lha, wong aku ijazah SD saja tidak punya. Tidak realistis juga kalau aku punya mimpi setinggi mereka. Mimpiku sederhana saja, tidak muluk-muluk : keluar dari lingkaran setan kemiskinan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun