Mohon tunggu...
Fajar Fadhillah
Fajar Fadhillah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

penuh inspirasi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tuhan Mencintai Pekerja dengan CInta

22 Mei 2013   11:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:12 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13691982562141851972

Terbangun saya dari tidur yang tak terlalu panjang. Kepala begitu berat. Riuh kicauan kawan-kawan masih terbayang. Inilah pagi (yang sebenarnya sudah siang) saya tanpa beban harus menulis lagi. Kemarin adalah hari terakhir saya berada di kantor sebuah harian nasional Kabar Nusantara. Karir saya di tempat yang dimulyakan para pembaca di negeri ini harus berhenti di tangan seorang bapak paruh baya.

Seorang bapak paruh baya tersebut mendatangi kantor berita dan mencaci saya di depan muka bos-bos dan rekan kerja saya. Akibat kesalahan saya yang dirasa tidak terlalu besar, saya telah membohongi masyarakat Indonesia memalui ketidakvalidan data yang saya tulis dalam satu artikel saya. Saya salah, saya dipecat, saya akui itu, namun itulah resiko saya.

Sejak awal saya menikmati pekerjaan yang baru saja hilang ini. Bersama harian Kabar Nusantara minimal saya mengenal tiga orang baru dalam satu pekan. Pekerjaan ini saya dapatkan sejak tiga tahun yang lalu. Bisa dibayangkan berapa orang baru yang sudah saya kenal dari pekerjaan ini. Rupiah yang saya dapat dirasa sangat kecil harganya dibandingkan kawan-kawan baru itu.

Bayangkan saja, dalam hitungan tiga puluh hari saya bekerja, akan sama upahnya dengan seorang bermodal tampilan necis atau terkadang urakan. Bermodalkan komunkatif dan update pada lelucon-lelucon yang menyesuaikan zaman, seorang presenter acara atau yang lumrah dipanggil emsi akan mendapatkan rupiah yang sama hanya dengan bicara selama dua sampai lima jam. Itu pun sering istirahat.

Profesi sebagai penulis naskah iklan sekaligus wartawan menjadi impian saya di hari pertama saya bekerja. Sebelumnya tak pernah terbayang saya akan menerima order iklan dan harus saya dustakan menjadi sebuah berita. Tak pernah terbayang juga dua hari sekali saya harus berkeliling kota Kembang untuk mencari sebuah kisah biasa saja dan harus saya sampaikan sebagai kisah luar biasa ke masyarakat Indonesia.

Hal ini sungguh membosankan bila dibandingkan mimpi saya saat usia sekolah dasar. Bila saja mimpi itu saya kejar dengan tekun tanpa banyak pertimbangan, mungkin setiap akhir pekan orang tuaku akan melihat aku bermain di lapangan hijau bersama Luis Suarez dan Steven Gerrard. Kini memang mustahil melihat orang Indonesia bermain di liga-liga sepak bola eropa. Namun membayangkan bagaimana cintanya saya pada sepak bola dan bagaimana dulu saya bisa menggocek tiga sampai lima anak yang jauh lebih tua dari saya, tidak mustahil Steven Gerrard memeluk saya karena saya mencetak gol penentu kemenangan tim.

Kini, saya sudah tidak mungkin saya menjadi seorang pemain sepak bola. Profesi yang sangat laik-laki itu sudah menjadi masa lalu saya saja. Dua lapangan bulu tangksi yang berjejer dengan gawang yang terbuat dari kumpulan sandal atau terkadang batu bata menjadi stadion di mana tim saya bernaung. Kaki-kaki telanjang yang terkadang berbenturan dirasa seperti sepatu-sepatu mewah buatan jerman yang harganya sebanding dengan seorang emsi beraksi sekitar dua hingga lima jam.

Dahulu saya adalah David Beckham, terkadang Filipo Inzaghi, esok lusa menjadi Andriy Shevchenko. Beranjak ke sekolah menengah pertama saya adalah Ricardo Kaka. Semua laki-laki sejati pada zaman itu selalu menganalogikan dirinya sebagai pemain sepak bola. Termasuk saya, tak terbayang berapa upah bermain sepak bola pada saat itu. Di benak saya hanyalah menggocek, merebut bola, mengumpan, mencetak gol, dan mengangkat piala.

Kini, impian menjadi laki-laki sejati itu terkadang harus bertolak belakang dengan kenyataan. Menulis hal-hal baru tentang fashion terkadang saya lakoni. Menulis harus dari hati dan dijiwai. Feminisme terkadang meluap saat harus menulis artikel fashion. Bagaimana impian dulu saya mencetak gol malah menjadi sang pemberi tips fashion untuk gadis-gadis remaja.

Namun, itulah hidup. Saya memang dengan pekerjaan ini belum bisa menghidupi siapa-siapa termasuk diri saya sendiri. Terkadang “amplop” narasumber atau sebungkus rokok dari sponsor sebuah event cukup bisa membuat saya tersenyum, walau tidak manis. Kini begitu besar cinta saya pada dunia jurnalistik. Tidak menghidupi perut saya, namun selalu menyuntik gizi pada mental dan otak saya.

Jelas sekali saya bisa sampai di sini karena dorongan dasar pendidikan perguruan tinggi saya. Saya sekolah jurnalistik di kampus komunikasi. Bukan studi ini yang dulu saya bayangkan saat menginjak sekolah menengah pertama dan akhir. Selalu lah patung gajah di tengah kota Kembang yang akan menjadi tempat saya menimba ilmu. Namun, lagi-lagi inilah hidup. Vonis buta warna parsial di periode lulusan SMA memilih kampus merubah itu semua. Mungkin bila saya dan jurnalistik adalah kedua insan, buta warna adalah takdir Tuhan untuk mempertmukan kami hingga akhirnya saling cinta.

Kepala ini sungguh berat dan pada akhirnya saya dan kawan-kawan sadar dari sisa mabuk semalam. Kawan-kawan yang kebetulan ditakdirkan kurang lebih sama dengan saya oleh Tuhan kami yang berbeda-beda. Di samping saya ada Imran yang baru terbangun, ia adalah lulusan sekolah keperawatan yang baru saja dipecat dari sebuah kafe kopi kenamaan di Indonesia. Irman kemarin betemu saya sambil mengenalkan saya dengan Tara, seorang Sales Promotion Girl yang terpaksa kadang ditiduri oleh calon pembeli. Baginya, hal itu semata-mata untuk membiayai adiknya yang bandel di sekolah dasar, ia ingin adiknya tumbuh di sekolah dan memiliki moral tidak sepertinya yang mudah untuk berbuat zina.

Saya pun datang berjanjian dengan Imran tidak sendiri, saya datang bersama Nuni, fotografer sebuah majalah politik “jagoan” di Indonesia yang baru saja dipecat karena memotret Presiden yang sedang menguap dan fotonya jadi foto berita utama di salah satu tulisan mendalam karyanya. Berita pesanan sang presiden yang ia kerjakan jelas setengah hati pada akhirnya menghilangkan pundi-pundinya yang dua kali lipat lebih dari saya sebulan dan si emsi dua hingga lima jam.

Tuhan suka hambanya yang bekerja. Tapi Tuhan maupun nabi dan para panutan tidak pernah mengajarkan manusia untuk spesifik memiliki profesi apa. Kami yang sedang sadar dari mabuk hanya menyadari, pada ahirnya rasa cinta kita akan selalu tertanam di pekerjaan saat kita sungguh-sungguh menjalaninya. Tuhan tak akan menghentikan nafas seseorang, Tuhan mencintai manusia. Semua profesi dicintai Tuhan bila kita mencintai pekerjaan kita. Rezeki bukanlah nafas, tapi cinta dan raga yang terjaga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun