Mohon tunggu...
Fajar Fadhillah
Fajar Fadhillah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

penuh inspirasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dalam Idealisme, Komersialisme adalah Bonus Tuhan

15 November 2011   17:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:37 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_142431" align="alignleft" width="300" caption="Suherman "][/caption] Dia tidak menyangka saat pahatannya yang berupa replika tengkorak Phitecanthropus erectus dipajang satu ruangan dengan lukisan karya Leonardo Da Vinci. Dialah Suherman (57), biasa dipanggil “Pahe” oleh teman-teman terdekatnya. “Saya bertahan dengan idealisme, Tuhan melahirkan saya menjadi pelukis, komersialisme adalah bonus dari Tuhan.” Ujar pria berambut gondrong ini.

Pahe mengawali masa mudanya dengan menjadi offroader dan pembalap motorcross. Namun kini dia menjadi seniman lukis dan pahat yang reputasinya telah menggaung di benua biru. Tokoh-tokoh inspiratif, seperti ‘abah’ Iwan Abdulrachman, Iwan Fals, Almarhum Harry Roesli menjadikan dirinya langganan dalam membuat lukisan. Apakah karena semata mereka adalah tokoh populer? Tidak tentunya, ia berikrar dalam hidupnya hanya ingin melukis orang-orang berjasa dan memiliki kontribusi untuk masyarakat, “Saya lebih memilih melukis wajah Sariban,  seorang yang selalu mencabut paku-paku yang nempel di pohon-pohon di Bandung ketimbang saya harus melukis Gubernur, kalau Gubernur enggak ngapa-ngapain ya ngapain?” dengan yakin Pahe menceritakan kisahnya dalam melukis.  Menurut dia, sebagaimana pun rendah hatinya manusia, dia butuh pengakuan dalam hidupnya. Maka, Pahe memberikan pengakuan melalui guratan kuas di sebuah kanvas.

[caption id="attachment_142428" align="alignleft" width="300" caption="Phitecanthropus erectus - Pahe mendokumentasikan proses penyerahan replika tengkoran manusia purba karyanya kepada Duta Besar Prancis untuk Indonesia pada tahun 2002 silam di Monumen Nasional."][/caption] Tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah album foto dari lemarinya, dia memperlihatkan beberapa karyanya yang menurutnya penting dalam hidupnya.  Mulai dari karyanya di Laboratore De Prehistorie Du Museum National De Histoire Naturelle, sebuah musium di Prancis, lukisan presiden Amerika Barrack Obama, lukisan almarhum Harry Roesli yang menjadi latar belakang panggung dalam konser 100 hari meninggalnya, dan karya lainnya yang diabadikan dalam sebuah foto.

Pahe memiliki tujuan sendiri dalam melukis. Jawaban dari mengapa Pahe ingin selalu melukis tokoh ialah pengaruh ke masyarakat. Seperti yang sedang dia kerjakan, yaitu membuat pameran bertemakan “Soekarno”. Dalam waktu dekat ini, dia akan memamerkan empat puluh lukisan bertemakan Soekarno di beberapa tempat mulai dari Bali hingga Jawa. Mengapa Soekarno? Karena dia ingin membukakan mata generasi muda tentang Soekarno. Seperti pada lukisannya yang lain, dia pun menggunakan aliran hitam putih. Aliran hitam putih menunjang maksud pameran ini. “Mengapa hitam putih? Karena walaupun asumsi tentang dia yaitu ‘hitam’nya, tapi Soekarno bagaimanapun dia memerdekakan negara ini (putihnya)” ujar Pahe. Bagi Pahe lukisan hitam putih bermakna dalam, yaitu kejelasan bahwa manusia memiliki dua sisi dalam hidupnya, hitam dan putih. “Terlau banyak warna di Indonesia ini, jadi tidak jelas mana hitam dan putih karena tertutup warna-warna, yaitu kebohongan.”

“Tak Banyak yang kulihat Dalam Putih kulihat Hitam Dalam Hitam kulihat Putih Tak Hitam dalam Putih Dan Tak Putih dalam Hitam Tak kulihat  dan Tak Terhitung” Begitulah bunyi sajak pahe dalam blog pribadinya.

[caption id="attachment_142429" align="aligncenter" width="576" caption="Lukisan Hitam Putih - Salah satu karya hitam putih kebanggaannya yang baru dia selesaikan di studio lukisnya, di Taman Sari, Bandung, Jumat(11/11)."][/caption]

Dalam keilmuan melukis sebenarnya aliran hitam putih tidak pernah diakui. Menurut seorang ahli seni lukis sekaligus dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Nandang Gawe, tidak sembarang berbicara masalah aliran dalam seni lukis. “Hati-hati kalau bicara aliran! Mana ada aliran hitam putih? Saya tidak mengenal Pahe, kalau mau bicara aliran harus kita lihat dari sejarah lahirnya seni dulu,” Ujar Nandang. Pahe pun mengakui dirinya bukanlah pelukis yang berpendidikan, dia mencetus aliran hitam putih berangkat dari filosofi yang sangat dalam.

Saat itu (11/11) hujan turun semakin deras, sambil menghisap rokok kretek dia mencurahakan perasaanya tentang seni lukis yang kurang diperhatikan oleh pemerintah. Menurutnya, berbicara seni dan budaya, khususnya di kota Bandung hanya terfokus ke Saung Udjo, Festival Ujung Berung dan sekitarnya. Dibandingkan dengan negara Prancis, seniman lukis di Indonesia relatif tidak diperhatikan pemerintah. Seni lukis di Indonesia pun kurang mendapatkan apresiasi dari masyarakat. Betapa dihargaimya seorang seniman lukis di Prancis hingga hidupnya pun difasilitasi oleh negara. Lukisan-lukisan di sana pun terawat rapi di masing-masing museum.

Meskipun diakui Pahe dia secara otodidak belajar lukis, namun dia tetap ingin berbagi ilmu dalam melukis. Kerap kali generasi muda datang ke studionya yang berada di Pintu III Kebun Binatang Bandung. Mereka datang untuk berbagi teknik lukis dengan Pahe, tapi Pahe tidak memungut biaya untuk itu. Komersialisme adalah bonus Tuhan untuk seorang pelukis, tutur Pahe. Pria yang sudah berkeluarga ini mendapat penghasilan dari pesanan-pesanan orang padanya.

Hingga hari Jum’at(11/11), satu hal yang Pahe resahkan, “Saya pernah membawa nama seni lukis Indonesia ke benua Eropa, saya pernah melukis wajah Obama dan seorang reporter dari Gedung Putih datang ke studio saya, tapi apakah pemerintah tahu?”. Ya, hingga kini kepedulian pemerintah terhadap seni di Indonesia memang masih menjadi keresahan bagi para pelukis, bagi bangsa yang potensial ini, bagi Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun