Di tengah sunyi malam yang kelam,
Rasa getir menusuk hati yang pilu,
Uang 271 triliun menghilang begitu saja,
Tak ada tanda-tanda harapan di sana.
Seperti hembusan angin malam yang merasuk,
Menembus kulit seperti menusuk,
Hilangnya harapan tak tergantikan lagi,
Bagai tiupan badai yang tak kenal ampun,
Menghempaskan keluarga miskin dalam kehampaan.
Uang itu tak sekadar angka di kertas,
Bagi kehidupan mereka adalah nafas,
Untuk biaya sekolah, biaya perut tak terisi,
Berhari-hari, hanya bermimpi.
Sepatu mereka bolong, akibat aspal tak tergotong,
dan tas sekolah juga bolong, hanya terisi harapan yang kosong,
Mimpi-mimpi pun hancur berkeping-keping,
Diambang keputusasaan dan kekecewaan,
Tiada lagi senyum di wajah yang letih,
Hanya air mata yang mengalir tak terbendung, bibir getar berusaha tersenyum.
Di sudut gelap rumah-rumah kumuh,
Mereka berdoa dalam kesendirian,
Memohon kembali uang yang hilang,
Namun, jawaban tak kunjung datang.
Hanya tinggal luka dan duka yang mengalir,
Dalam puisi sedih yang tak pernah berakhir,
Uang 271 triliun, pergi entah ke mana,
Meninggalkan mereka dalam kesedihan yang mendalam.
Kraksaan, 31 Maret 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H