Datangnya pembaharuan dalam sistem pendidikan nasional ternyata tidak bisa mengubah kualitas pendidikan menjadi lebih baik. Sekarang bukan masanya membenarkan yang salah lantas menyalahkan yang belum tentu benar. Guru tetap mendidik generasi walaupun sistem pendidikan awut-awutan seperti sekarang ini. Muhammad Nuh, sebagai Menteri Pendidikan era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, telah melakukan gebrakan yang begitu menggelapkan mata bagi sebagian besar orang; termasuk tender soal UN dan Kurikulum 2013 yang menghabiskan dana hampir tak terhingga.
Sebagai orang yang berwenang dalam meluruskan sistem pendidikan menjadi lebih baik, Muhammad Nuh, mantan Rektor Institut Teknologi Sepuluh November ini pula “mensejahterakan” yang tidak sejahtera dan “mengecewakan” hati sebagian besar harapan masyarakat Indonesia akan pendidikan lebih baik. Saya mengatakan demikian atas dasar kecurangan pada Ujian Nasional mulai pembuatan soal sampai percetakan naskah ujian, semua mengejar materi tanpa melihat dari segi efektivitas dan sensitifitas suatu hasil setelah itu.
Baru sekarang saya menyadari bahwa orang diluar jalur pendidikan lantas memimpin langkah pendidikan maka beginilah hasilnya. Muhammad Nuh berangkat dari sebuah kampus teknologi besar Indonesia, memimpin dan mengarahkan sistem pendidikan supaya lebih baik malah menimbulkan kecewa di mana-mana. Tidak ada yang salah dalam masa kepemimpinannya, namun masih banyak tokoh lain yang mampu mengemban tugas sebagai menteri pendidikan, berasal dari dunia pendidikan yang paham ranah afektif, psikomotor tidak lantas mengejar kognitif semata. Patut saja Indonesia jauh tertinggal karena iming-iming materi begitu besar, banyak referensi yang mengatakan bahwa negeri adidaya teknologi yang telah melahirkan ponsel bermerek dagang Nokia saja tidak memberlakukan UN.
Masalah ada sangkut-pautnya dengan arah tulisan ini coba saya analisis menurut pemahaman seorang awam. Gebrakan lain yang dilakukan era pemerintahan berjilid ini dengan mengucurkan sertifikasi guru. Secara pribadi saya malah bertanya seberapa pentingnya dana sertifikasi tersebut? Bahkan, guru yang dahulu mengajarkan Muhammad Nuh sehingga mampu menjadi rektor sampai kemudian menjabat menteri, guru yang mengajarkan SBY sehingga menjadi presiden tidak pernah mengecap gaji dua kali lipat.
Karena sertifikasi ini pula pendidikan carut-marut dari mulai pendidikan dasar hingga menengah. Guru tidak lagi mengajar dengan keikhlasan dan karena panggilan jiwa, sehingga semboyan Guru: Pahlawan Tanpa Tanda Jasa kiranya sudah terkikis karena mengejar jadwal mengajar 24 Jam Pelajaran dalam seminggu. Bagi guru yang sudah mendapatkan sertifikat sebagai guru profesional tersebut mau tidak mau harus memenuhi jam mengajar jika ingin dana sertifikasi mengalir ke rekening mereka. Jam mengajar saja tidak cukup harus dipenuhi guru, perangkat pembelajaran yang dianggap sebagai kelengkapan administrasi harus benar-benar tebal hampir 100 halaman lebih jika ingin makan gaji dua kali lipat. Pada waktu tertentu, saat proposal gaji sertifikasi akan dicairkan maka guru malah meninggalkan kelas demi menyiapkan kebutuhan diri mereka sendiri. Persoalan ini bisa dianggap mengada-ada oleh mereka yang sangat paham betul teori bermacam rupa, tetapi saya melihat kondisi dan situasi sangat teriris melihat siswa-siswi hanya melantunkan sendu menunggu guru tak kunjung masuk kelas.
Profesionalisme seorang guru bukan lagi terletak pada disertifikasi atau pun tidak sama sekali. Guru-guru terdahulu masih dianggap paling berjasa menciptakan keharmonisan dunia pendidikan. Kita tidak bisa menutup mata bahwa Malaysia pernah berbondong-bondong belajar ke Indonesia tetapi malah pendidikan mereka lebih bagus. Hal tersebut bisa kita rasakan dengan lahirkan generasi yang berdedikasi sebagai tokoh nasional dan tokoh pembaruan dengan pemikiran gemilang memajukan Indonesia. Sebut saja tokoh besar seperti Ridwan Kamil, Tris Rismaharini atau Anies Baswedan yang namanya sedang ramai dibicarakan, mereka tidak diajarkan oleh guru tersertifikasi. Dan kini, guru-guru honor malah lebih rajin mengajar dibandingkan guru dengan gaji dua kali lipat.
Lalu Muhammad Nuh meresmikan Kurikulum 2013 di mana sebagian pelajaran ditiadakan dan digabungkan menjadi satu paket. Lahirnya Kurikulum ini malah memicu lahirnya pengangguran guru bidang studi tersertifikasi, selain karena pelajaran dihilangkan dan dikerucutkan, guru bersertifikat semakin bertambah dari hari ke hari sedangkan sekolah pernah berubah, dalam arti satu sekolah hanya bisa menampung tiga kelas masing-masing tingkat maka akan terus begitu karena kekurangan dana untuk membangun kelas lain. Guru yang memiliki jam wajib 24 JP ketar-katir mencari sekolah lain demi menebus dana yang akan mereka terima.
Inilah persoalan yang menjadi pekerjaan siapa pun pemimpin masa depan Indonesia. Dunia pendidikan yang diurus dengan harapan materil hasilnya bisa kita lihat semakin banyak pembohongan dan pembodohan. Semua masih ingat, dulu tidak ada UN, tidak ada guru sertifikasi, tidak ada kurikulum bermacam-macam. Toh, Indonesia bisa juga melahirkan intelektual seperti BJ. Habibie yang sudah melahirkan sebuah teori pesawat terbang, Crack Propagation on Random dikenal juga dengan Faktor Habibie.
Sebagai masyarakat kita hanya bisa melihat dan mendengar tanpa bisa berbuat apa-apa. Saya hanya berandai-andai setelah 02 Mei 2014, mengenang semua jasa pendidik, ada sosok yang mampu menghalau keegoisan dan lebih mementingkan serta mendengar teriakan rakyat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H