Sumber: BlackBerry Messenger (BBM) By Ihan Nurdin
Pagi yang indah mengubah suka menjadi duka. Seluruh Aceh merasakan getaran dahsyat tersebut. Diikuti tsunami. Tangis membahana. Harapan tenggelam sudah. Cita-cita tergantung di antara jerit pilu dalam mencari sanak-keluarga yang belum kembali, bahkan tidak ditemukan sampai kini.
Itu dulu, pada masa yang tak pernah terlupa. 10 tahun lalu. Di mana salah satu daerah terisolir. Pantai barat Aceh terputus. Meulaboh tenggelam.
Luka lama itu tak pernah dilupakan oleh kami. Dunia berputar. Kami berbenah. Mencari secercah harapan di bawah langit-Nya. Kami mendapatkan itu. Kami bahagia. Bersyukur pada segala anugerah. Meninggalkan duka di bawah kolong bahagia yang kami raih kemudian.
Meulaboh pernah berduka teramat dalam. Di setiap langkah, jejak itu tak pernah hilang. Walaupun kota Meulaboh sudah menjelma menjadi salah satu kota metropolitan di Aceh, Meulaboh tetap menyimpan kenangan yang tak bisa mengubah waktu menjadi ceria. Pada bangunan yang berdiri rapuh, tanggal itu mencatat bahwa jeritan, tangisan, tatapan kosong, haus, lapar, dan rasa yang lain berkumpul menjadi satu.
Kota yang memiliki julukan Kota Tauhid dan Tasawuf ini masih menyimpan saksi nyata keberingasan tsunami satu dekade lalu. Di daerah perkampungan penduduk yang dulu padat sekali, kini menjadi sepi. Daerah itu terkenal dengan kawasan kaum elit kota Meulaboh, Kampung Belakang namanya. Nama boleh saja belakang tetapi perumahan mewah pernah berdiri kokoh di daerah tersebut. Perkampungan penduduk ini berjarak tak lebih 1 km dengan laut lepas. Kini benar-benar telah usang, tak lagi padat.
Roda berputar cepat. Walaupun pembangunan di mana-mana, daerah yang hampir habis tersapu arus deras tsunami ini hanya mampu mendirikan rumah sealakadarnya saja. Kesan mewah sudah menjadi catatan di buku terkunci rapat pada 26 Desember 2004.
Lihatlah dua potret kenangan yang saya abadikan tanggal 25 Desember 2014, sehari sebelum peringatan 10 tahun musibah itu menyapa kami.
Photo by Bai Ruindra
Dua rumah mewah pada masanya. Di 2004, dua rumah ini sungguh besar untuk ukuran kota kecil Meulaboh. Dua rumah ini menjadi salah satu bagian penting dari gempa dan tsunami. Dua rumah ini menjadi saksi yang tak mampu mengucapkan sepatah kata pun kepada kita. Dua rumah ini telah ditinggal pengguninya.
Saya menghampiri dua orang warga setempat. Sayangnya, kedua orang tersebut tidak mengetahui ke mana keberadaan pemilik rumah tak terurus tersebut. Dua rumah itu tidak lagi kokoh, tidak pula direnovasi. Dua rumah itu diam saja dalam dukanya.
Mungkin, penghuni dua rumah tersebut semuanya telah tiada.
Mungkin, penghuni dua rumah tersebut sengaja membiarkan begitu saja.
Mungkin, kedua rumah itu dibiarkan menjadi saksi bisu.
Mungkin, kedua rumah itu….
Saya juga bingung menjabarkan mungkin yang lain.
Begitulah. Di antara perubahan yang terjadi di seluruh bumi Aceh, masih terdapat kepiluan di sisi tak tersentuh. Kepiluan itu akan terus mengangkasa sampai anak-cucu. Musibah besar itu terus terngiang pada tanggal dan bulan yang sama.
Dari sinilah terima kasih kepada-Nya. Musibah mengubah segala. Konflik mereda. Jodoh bertemu. Daerah semakin maju.
Sisi baik dan buruk. Aceh sedang berbenah. Kini dan nanti. Karena sejarah tak pernah bisa diulang hanya sekadar mengabadikan dalam sebuah gambar.
Terima kasih, sudah membaca. Semoga bermanfaat. Inilah refleksi #10TahunTsunamiAceh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H