Minggu ini, media massa cetak dan online serta media sosial kembali heboh. Bukan karena skandal Lee Min Ho dengan Suzy Bae. Bukan pula karena berita meninggalnya komedian Olga Syahputra. Bukan karena gempa di sebagian daerah. Bukan karena gunung Sinabung yang kembali meletuskan apinya. Bukan juga karena Bahan Bakar Minyak (BBM) putus-nyambung antara naik dan turun.
Berita besar itu. Situs-situs Islam diblokir pemerintah. Apakah sehebat itu sampai menjadi trending topic di media sosial?
Perlu dicatat, terdapat situs yang memang "layak" blokir karena pernah memuat informasi tanpa kejelasan kebenarannya. Di antara kita yang pernah mengakses situs tersebut pasti paham situs mana yang “baik” dan “tidak baik” versi pemerintah kebanggaan kita. Kemkominfo menerima permintaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk memblokir 22 situs yang dianggap radikal. Pemblokiran oleh layanan jasa internet, Internet Service Provider (ISP), termasuk sangat cepat tanpa memberi teguran tertulis terlebih dahulu. Kita tahu sendiri bahwa pemerintahan masa kini semua serba mendadak. Padahal pakai bedak saja butuh proses lama, bukan?
Coba kita flashback ke masa pemerintahan sebelumnya. Situs-situs yang diblokir adalah situs berbau pornografi. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bangga sekali karena berhasil membungkam website tidak senonoh di negeri ini. Sayangnya, pemerintah terlalu terlena dengan pertahanan pakar teknologi yang dipunyai, satu situs diblokir ribuan situs mudah diakses. Pemerintah memblokir Vimeo, namun tidak dapat memblokir Youtube. Padahal, baik Vimeo maupun Youtube sama-sama menyuguhkan tontonan “sesuka” Anda ingin lihat.
Pemerintah bangga telah melantunkan aksen "tidak dapat diakses" pada beberapa situs negatif. Pemerintah lupa bahwa situs-situs tersebut ibarat kuda terbang dengan kecepatan pesawat tempur. Pemerintah belum bisa membendung amukan sayap kuda bernapsu tinggi ini, situs negatif masih tetap bisa diakses. Karena apa? Pembuat situs itu adalah orang-orang handal luar negeri yang mudah mengibuli pertahanan keamanan dunia maya negeri kita. Situs yang dibuat di dalam negeri begitu mudah dibungkam, situs yang dibuat di luar negeri jangan harap mudah dimatikan. Sebut saja situs Amerika Serikat yang bersifat legal di negaranya.
Kita kembali ke dunia nyata, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang terkenal plin-plan, menebas habis situs-situs Islam yang "dianggap" radikal. Sebenarnya, definisi radikal atau terorisme mesti diluruskan oleh pejabat berwenang sebelum mengambil kebijakan. Pembungkaman situs-situs Islam terkesan tebang pilih. Tidak semua situs tersebut memberi pesan radikal, menurut makna pemberi asumsi tersebut. Tidak semua situs yang dicekap dikangkangi terorisme yang diagung-agungkan dunia barat. Dan, terlihat jelas pertahanan situs-situs Islam ini sangat lemah. Sekali tebas langsung down.
Kita – masyarakat muslim mayoritas – jungkir-balik mendapati situs-situs Islam tak bersalah dibunuh oleh pemerintah. Kebebasan beropini pun jadi serba salah. Jauh dari itu semua, media sosial adalah situs "radikal" nomor satu yang memberangus akal sehat dan menimbulkan kekhawatiran. Beranikah pemerintah memblokir Facebook atau Twitter?
Situs-situs Islam yang telah diblokir memang menyimpan asas-asas Islam sesuai takaran pemahaman penggagasnya. Situs-situs ini mengulas habis mengenai kedigdayaan Islam. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa satu atau diantara yang terblokir itu pernah memposting artikel berbau SARA. Kita tahu sendiri situs mana yang pernah melakukannya.
Ngomongin SARA. Bukankah ini ranah yang sangat dominan dalam arti radikal? Facebook maupun Twitter menjadi dua media sosial yang terang-terangan menyebarkan kebencian melalui akun abal-abal. Banyak sekali akun yang mengatasnamakan si anu dan si anu yang memposting berita dan foto provokatif. Rayuan Facebook dan Twitter lebih dahsyat dibandingkan situs-situs Islam yang telah diblokir pemerintah. Lantas, apa yang telah dilakukan pemerintah dalam mendikte kekuasaan Facebook dan Twitter di negeri ini. Facebook dan Twitter masih menayangkan isu-isu kriminal yang bebas diposting oleh siapa saja. Microbloging Twitter malah lebih parah menyasar dengan penggunaan tagar #tertentu sehingga percakapan alam maya bisa sampai ke seluruh dunia. Pada kekuasaan sepuluh tahun SBY maupun Jokowi yang belum sampai setahun sudah didemo tiap saat, Facebook dan Twitter sama sekali tidak mendapat teguran berat.
Lihatlah ke akun Facebook maupun Twitter Anda hari ini. Berapa banyak status "radikal" yang dilontarkan akun tak bertuan. Berapa banyak share video asusila pejabat bahkan remaja gentangan tanpa tahu siapa penanggung jawabnya. Berapa banyak foto vulgar diposting tiap hari. Siapa saja remaja putri dan putra yang kabur dari rumah karena ajakan Facebook dan Twitter. Radikalkah itu? Justru media sosial seperti ini yang mudah diakses oleh siapa saja dan mudah mengajak siapa saja untuk berbuat apa saja.
Kita – Indonesia – bukanlah Tiongkok bahkan Korea Selatan. Korea Selatan masih bertahan sebagai produsen smartphone kelas atas dunia dan nomor satu penetrasi internet di Bumi ini. Tiongkok tak lain adalah negara yang berani menutup diri terhadap dunia luar. Sudah menjadi rahasia umum jika Google dan Facebook tak bisa berkutik di negeri tirai bambu. Wajar saja situs pencarian seperti Baidu menjadi raksasa dan Sina mengalahkan kepopuleran Facebook. Kita belum sampai ke puncak sana dalam berbuat. Bahkan, saat situs-situs Islam diblokir di desktop, pengguna smartphone malah bisa mengaksesnya. Di saat satu provider mematuhi perintah pemerintah, provider lain tutup telinga dan membiarkan pelanggan membuka situs tertentu sesuka hati.
Peperangan telah dimulai dari media sosial. Pemblokiran situs-situs Islam hanya "rekayasa" pemerintah dalam menyimpan sebuah rahasia. Kita tak akan pernah paham rahasia apa yang dimaksud. Kita hanya terlena. Marah-marah. Mengkritik di media sosial (juga). Tak ada hasil. Kecuali gebrakan 1998 terulang kembali saat ini. Entah akan terjadi entah tidak.
Kita berhak teriak-teriak, namun “media” Islam sebenarnya masih belum diblokir. Pemblokiran ini tak mengubah apapun terhadap umat Islam selama al-Quran masih dibaca dan diamalkan, ketika Hadits masih ditafsirkan, ketika pendapat ulama masih didengarkan. Baik benar di dunia maya adalah simalakama. Tidak ada yang bisa “membenarkan” dan tidak ada yang mampu “menyalahkan” karena semua kembali pada pemahaman agama masing-masing.
Islam akan kuat karena pemeluknya mengamalkan perintah-Nya dengan sebenarnya. Jangan pernah takut Islam akan hancur ketika media (situs) Islam diblokir karena dunia nyata masih menawarkan penglihatan, pendengaran, sentuhan dan gerakan sebenarnya dari mereka yang mengamalkan agama dengan sungguh-sungguh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H