Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penjara Itu Bernama Warung Kopi

31 Maret 2016   15:53 Diperbarui: 31 Maret 2016   16:05 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Kopi memang candu. Warung kopi lebih dari candu. Dia adalah bui!

Terpenjara di bui sebenarnya saat ini seperti hidup dalam istana. Tidak hanya mereka yang punya uang saja yang gampang keluar masuk penjara, mereka yang kere pun seakan-akan mudah ngopi di café-café yang menyediakan penghibur di malam hari. Ini sih pendapat saya saja. Toh, kenyataan di lapangan memang demikian. Ingat dengan Gayus Tambunan yang bebas ke Bali atau ke luar negeri? Nggak mudah juga melupakan perawatan kecantikan Ratu Atut yang semerbak wewangian. Bebas-bebas saja di penjara di masa modern ini. Penjara itu bahkan lebih manis dari pada kehidupan mereka yang tiap hari memikul cangkul dan menyangkul di tanah tak basah!

Ngomongin penjara yang aman-aman saja tentu berbeda dengan penjara zaman dulu. Soekarno melahirkan Indonesia Mengugat di dalam penjara. Pramoedya Ananta Toer menulis karya-karya spektakuler seperti Nyanyian Sunyi Seorang Bisu juga di dalam penjara. Tan Malaka menulis otobiografi Tan Malaka: dari Penjara ke Penjara di dalam ruangan pengap penjara. Dunia internasional mencatat Nawal el Saadawi, seorang aktivis perempuan di penjara tahun 1981 menelurkan Dari Penjara Perempuan. Penjara dulu yang buruk rupa ternyata banyak membuat gebrakan-gebrakan dibandingkan penjara sekarang yang malah menjadi istana kenegaraan para penghuninya.

Satu penjara yang sekarang ini bebas dikunjungi oleh siapapun, tanpa perlu membuat kejahatan, tanpa borgol maupun kejaran polisi adalah warung kopi. Terpenjara di warung kopi lebih menyakitkan daripada penjara sebenarnya yang makan enak dan narkoba aman. Warung kopi malah tak bisa berpesta narkoba karena ujung-ujungnya kena razia pihak berwajib. Mau makan di warung kopi mesti bayar. Mau duduk berjam-jam mesti ada laptop atau gadget agar tidak bosan.

Bui aka penjara warung kopi pernah melahirkan karya sekelas Harry Potter. JK. Rowling mengaku lebih banyak menulis di warung kopi karena pada masa-masa imajinasi liarnya terus mengalir tak dapat menulis di tempat lain. Satu sisi warung kopi murah. Sisi lain karena butuh ketenangan. Dee Lestari juga pernah memposting foto di media sosial sedang merampungkan serial Supernova di warung kopi.

Bui warung kopi itu nikmat dan tak bisa move on. Jika mau mengalkulasikan aktivitas di warung kopi saat bisa bisa mencapai milyaran rupiah. Nggak ada yang tahu siapa yang “kerja” atau cuma ngopi doang. Fasilitas internet memudahkan anak-anak muda nongkrong dengan modal laptop dan secangkir kopi lima ribu rupiah. Terserah mau ngapain dan sampai kapan.

Aktivitas yang dianggap sepele bahkan oleh para akademisi adalah duduk di warung kopi. Padahal nggak ada yang tahu siapa dia dan dia di seluruh sudut warung kopi. Saya menjumpai wartawan bekerja di warung kopi sehingga kita dapat menikmati suguhan berita di televisi. Kenapa berita dari daerah cepat sekali sampai saat ini? Karena para kontributor meliput lalu duduk di warung kopi dengan fasilitas internet gratis untuk mengirim berita ke redaksi. Hasilnya bukan cuma wartawan saja yang mendapat bonus namun mereka yang mencemooh orang-orang yang duduk di warung kopi dengan cepat mendapatkan informasi yang akurat.

Di antara mereka yang tekun sekali mengamati laptop entah apa profesinya. Jangan salah, bisa saja seorang penyendiri di warung kopi meneguk manis uang dari Google Adsense sampai ratusan juta perbulan. Caranya tentu mengelola blog – bahkan lebih dari satu blog. Ada pula yang bekerja tanpa ikatan dinas dengan Google namun mendapatkan income dari penyedia layanan tertentu. Mereka nggak perlu koar-koar kerja itu harus punya kantor, kerja itu ngajar di kampus, kerja itu wajib berpakaian rapi, kerja itu bertumpuk berkas-berkas, bertemu klien dan sebagainya. Namun kita nggak pernah tahu yang duduk di warung kopi itu penghasilannya berapa. Bahkan, bisa lebih besar dari pekerja kantoran!

Bui warung kopi memang mengasyikkan. Semakin diselami semakin candu. Zaman yang terus berubah membawa perubahan pula pada pola pikir dan cara mendapatkan uang. Saat lapangan pekerjaan semakin sulit si pangangguran mau tidak mau berpikir mendapatkan penghasilan. Saat pemerintah membungkam penerimaan PNS, si pemimpi itu harus menghidupi kehidupannya dan keluarga walaupun apapun cara.

Warung kopi sejatinya telah menjadi kantor mereka yang bekerja sebagai freelance. Si freelance ini malah bisa mengerjakan beragam pekerjaan; paham html, edit foto, design, aplikasi internet, buku-buku, film, drama, dikenal banyak orang karena konten bermanfaat, diundang ke luar daerah tanpa ada yang tahu, memahami banyak isu dan sebagainya. Kedudukan warung kopi tak lagi sebatas penjara yang cuma diisi oleh mereka yang tukang gosip. Banyak kok pria bergosip di warung kopi, cerita tanpa ujung pangkal. Banyak pula mereka yang bekerja sehingga nggak perlu memberikan vonis bahwa anak muda tidak kreatif jika hanya duduk di warung kopi siang malam.

 

Inilah penjara kehidupan yang sebenarnya. Dan berhenti mencemooh apabila hanya numpang lewat saja!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun