“Pak, si Cantik sudah menikah minggu lalu!” begitu ujar seorang siswi yang baru tamat MTs – setingkat SMP – saat mengambil ijazah. Salam-salaman terjadi antara guru dan segerombolan mantan siswi yang masih berusia rata-rata 15 tahun.
Deretan pertanyaan kemudian muncul dari guru yang tak tahan dengan berita besar tersebut.
“Dengan siapa?”
“Bagaimana bisa?”
“Apa bisa menikah baru tamat sekolah?” – maksudnya MTs –
Pertanyaan-pertanyaan lain muncul tak terbendung, karena ibu-ibu guru ini seakan benar-benar tidak rela anak didiknya terenggut masa depan begitu saja. Belakangan, saya mengetahui bahwa siswi tersebut telah memanipulasi identitas agar dapat menikah. Usia 15 tahun diubah menjadi 17 tahun. Siapa yang memanipulasi? Siapa lagi kalau bukan orang tua siswi yang ingin segera anaknya menikah. Kabar yang datang kemudian siswi ini menikah dengan pria berusia 25 tahun yang dikenalnya melalui media sosial, Facebook. Entah bagaimana caranya, pernikahan mereka tidak bisa dibendung.
Saya tidak tahu alasan orang tua menikahkan anak mereka begitu usai bangku MTs. Pernikahan yang bisu itu telah membuat rona bahagia teramat jelas. Benar atau tidak nggak ada yang tahu ke depannya bagaimana. Apakah anak ini benar-benar akan bahagia. Apakah mereka hidup sejahtera. Bagaimana membesarkan anak jika ternyata mereka langsung dikarunia keturunan. Logika saya menari bertalu-talu. Tidak ada jawaban yang bisa menguraikan ini kecuali waktu, di masa yang entah sampai kapan saya harus menunggu.
Pernikahan yang terjadi pada siswi saya yang tamat MTs tahun ini, 2016, merupakan sebuah isu yang cukup besar bagi generasi muda yang sejatinya harus berkarya sebanyak mungkin.
Namun, yang terjadi semudah membalik telapak tangan. Pernikahan terjadi seperti biasa saja. Sama seperti makan kerupuk rasa ayam. Kisah ini bukan pula kisah Siti Nurbaya yang dikumandangkan, kisah jalinan kasih ini seperti percintaan semalam saja, melalui media sosial, cocok di mata, suka di hati lalu menikah terburu-buru dengan menyuap Kantor Urusan Agama (KUA) untuk mengeluarkan fatwa pernikahan sah.
Pernikahan telah seperti permainan karena semua mudah dilalui. Pernikahan normal di Aceh membutuhkan mahar emas cukup besar. Pernikahan yang terburu-buru, karena alasan hanya mereka yang tahu, hanya menghabiskan sedikit biaya lalu bisa berbahagia selamanya. Si anak yang tak tahu arah akan ke mana, mudah saja mengiyakan permintaan orang tua agar segera menikah. Mau melanjutkan pendidikan orang tua menggelengkan kepala karena tak mampu.
Pernikahan menjadi solusi terbaik agar orang tua lepas tanggung jawab. Pemikiran lain, daripada ditangkap orang kampung atau polisi syariat Islam di Aceh ini, bikin malu keluarga, lebih baik dinikahkan saja walaupun menyulap identitas. Toh, anak perempuan yang telah mengalami menstruasi wajar saja menikah karena akan hamil jika tidur dengan pria manapun!