Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Hukuman Mati dan Harga Diri

23 Februari 2015   23:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:38 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejauh mana harga diri bangsa kita tergadaikan?

Ambisi untuk menaklukkan dunia semata-mata karena kita takut pada kekejaman pihak luar. Bangsa kita telah merasakan pedihnya penjajahan beradab-abad silam. Bahwa peradaban negara kita tetap kokoh walaupun negara adidaya mengobok-obok kedaulatan negeri ini. Kita tak akan pernah lupa perjuangan Soekarno maupun pejuang di masanya dalam memplokamirkan kemerdekaan. Jauh sebelum itu, para pejuang dengan bambu runcing merupakan contoh lebih ngeri dalam menumbas penjajah. Dari Sabang sampai Merauke. Dari laut hingga darat. Dari laki-laki sampai perempuan. Dari muda hingga tua.

Perjuangan yang sudah lama berbuah manis sampai gedung-gedung bertingkat berjejer rapi di negeri ini. Namun, penjajah sesungguhnya adalah kemunafikan dalam diri bangsa kita sendiri. Di luar kita bersikap manis. Pada orang luar kita mengiba. Di dalam negeri kita bersikap judes. Pada anak negeri kita abai.

Perjalanan panjang bangsa kita dalam mempertahankan keegoisan tak pernah luntur. Dari dulu, sejarah mengajarkan kisah perjalanan seorang pejuang egois. Teuku Umar benar-benar sosok yang egois demi kedaulatan negeri ini. Dia rela bersemedi bersama penjajah karena ingin mengetahui kelemahan mereka. Kartini adalah sosok perempuan egois yang rela mengorbankan diri dan keluarga demi pendidikan bagi perempuan. Sekiranya keegoisan dipertahankan karena baik buruk sebuah keputusan. Pejuang dahulu nyatanya melawan penjajah yang terlihat, perjuangan kita masa kini adalah melawan penjajahan tak terlihat. Perlawanan ini jauh lebih rumit mana kali keegoisan pemimpin mengarah pada kepentingan bangsa lain.

Banyak kisah yang menerbangkan harga diri bangsa ini akibat pemimpin egois. Anak bangsa dibakar, dibunuh, sampai dihukum mati di luar negeri. Padahal, mereka adalah devisa negara yang bisa disandingkan dengan emas pertama. Legal maupun ilegal perjalanan mereka menapaki negeri-negeri nan jauh, mereka tetap darah daging kedaulatan Indonesia. Kasus kekerasan pekerja luar negeri berstatus legal saja sedikit digubris pemerintah, entah bagaimana dengan pekerja ilegal yang tak terdata jejak langkahnya. Jika menilik pengakuan mereka parapekerja yang dihukum semata-mata ada sebab-akibat; perkosaan, pemukulan, tanpa upah dan lain-lain merupakan kekerasan tak ternilai. Satu dua mereka berhasil dipulangkan. Lebih banyak mereka merana di negeri seberang. Apakah kita bersikap egois dengan melayangkan somasi? Apakah pemerintah kita berani bersikap memutuskan hubungan bilateral? Apakah sosial media mencetak trending topic dunia?

Jawabannya adalah diri kita yang menutup telinga. Kita bosan dengan aturan pemerintah yang masih didikte negara sahabat. Kita jenuh dinina-bobokan dengan dongeng berhasilkan kehidupan nyata. Dunia mendengar. Dunia terdiam.

Penjajahan masa kini adalah pembunuhan karakter bangsa. Tak telihat. Pelan-pelan. Berlangsung sistematis. Menguntungkan kalangan tertentu. Merugikan akal sehat anak bangsa. Tak lain adalah narkoba yang semakin dimanjakan oleh pemerintah sehingga mulus masuk ke negeri ini. Berulang kali kasus narkoba terjadi di Indonesia. Berulang kali hukuman ringan dijatuhkan. Bebas. Hidup senang bergelimang harta. Kembali mengedar barang haram itu kepada anak negeri. Mereka yang datang membeli; tersungkur-sungkur menahan sakit saat obat terlarang tidak menjalar ke tubuhnya, perlahan-lahan pikiran jernih tergerus. Seandainya langsung mati saja susah selesai urusan keduniawian, hilang harapan generasi muda berbakat menyukseskan kedigdayaan negeri ini. Namun obat terlarang bukan pembunuh, dia merasuki korban seperti kerasukan. Akibat dari itu semua adalah kejahatan sampai kematian.

Lantas, berhakkah kita memberi keringanan kepada pengedar? Anak negeri sendiri dihukum mati. Anak negeri orang ditunda-tunda hukuman karena gertakan negara asal. Negara kita punya hukum. Bukan tertulis pada selembar kertas. Hukum ditegakkan bukan karena uang maupun nama baik. Berani berbuat berani bertanggung jawab. Nyata salah, nyata terima hukuman. Sudah paham resiko, kenapa repot-repot menjual barang haram di negeri orang?

Dua orang itu, seperti kita tahu, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Dua warga negara Australia yang telah memutuskan urat saraf generasi muda Indonesia dengan 8,2 kilogram narkoba. Dua orang ini pula terancam hukuman mati di Bali. Namun, pemerintah Australia malah membela habis-habisan dua warganya yang terbukti bersalah. Ketakutan Indonesia terlihat jelas dengan menunda hukuman keduanya. Padahal jauh sebelum kasus Bali mencuat, dua negara tetangga, Singapura dan Malaysia sudah pernah melakukan tindakan yang sama terhadap warga negara Australia.

Salah satunya, Nguyen Tuong Van, dijatuhi hukuman gantung di penjara Changi, Singapura pada 02 Desember 2005. Pemuda berusia 25 tahun itu adalah kulit hitam yang enggan dipedulikan oleh Australia. Pemuda ini menyelundup 400 gram heroin atau setara 26 dosis obat bius ke negeri singa tersebut. (viva.co.id, online).

Singapura menunjukkan sikap tegas mereka. Melalui Juru Bicara Parlemen Singapura saat itu, Abdullah Tarmugi, menulis surat khusus kepada parlemen Australia. Seperti dikutip dari laman VIVANews, Tarmugi menegaskan, “Dia tahu apa yang dilakukannya dan konsekuensi atas tindakannya. Sebagai wakil rakyat, kami memiliki kewajiban untuk melindungi kehidupan mereka yang dapat dirusak oleh obat bius yang dia bawa!”

Tegas. Bijaksana. Paham kerugian warganya. Tahu akibat jika tak dijatuhi hukuman berat kepada penyelundup tersebut. kata melindungi sungguh sebuah suguhan yang tepat ditengah krisis kepercayaan warga Indonesia terhadap pemimpin mereka saat ini. Lebih kurang 10 tahun lalu hukuman mati di penjara kelam Singapura muncul ke permukaan. Apakah hubungan bilateral Singapura-Australia hilang tanpa bekas?

Negara tetangga yang kerap perang dingin dengan Indonesia, Malaysia, juga menjatuhkan hukuman mati terhadap tiga warga Australia 22 tahun sebelumnya. Michael McAuliffe dihukum mati pada 29 Juni 1993 setelah divonis bersalah atas kepemilikan 14 paket heroin (141,89 gram) yang dimilikinya. Kevin Barlow dan Brian Chambers, juga dikenai hukuman mati pada 09 November 1983 atas kepemilikan 15 gram heroin. (viva.co.id, online). Apa yang terjadi setelah berpuluh tahun hukuman mati terhadap warga negara Australia tersalah itu? Malaysia tetap menjadi salah satu negara Islam dan maju yang disegani di Asia Tenggara.

Layakkah Indonesia takut terhadap tekanan Australia?

Bangsa kita telah pernah dijajah oleh senjata api sebelum merdeka. Kita mampu “memulangkan” Jepang dan Belanda ke tanah kelahiran mereka. Hubungan negara kita dengan Jepang maupun Belanda juga berjalan baik-baik saja. Bahkan, Belanda banyak menulis sejarah perjuangan bangsa kita di negara mereka.

Dua warga Australia, penjajah fisik dan psikis, telah merusak generasi muda di negara hukum, bukankah patut menerima imbalan setimpal? Kecuali, pemimpin kita berubah menjadi sangat egois dan takut pada bangsa lain. Di dunia ini bukan hanya Australia. Toh, warga negara Australia akan tetap berlibur ke Bali. Lihat saja buktinya. Cek kedatangan di Bandara Ngurah Rai. Niat baik tak pernah pudar. Wisatawan berbeda dengan penjahat, bukan?

***

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun