Belakangan ini banyak sekali kejutan yang diberikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pembaharuan terhadap pendidikan ke arah lebih baik terus dilakukan. Terobosan yang dilakukan oleh menteri penuh kontroversial ini terkadang hanya dipandang sebelah mata oleh masyarakat yang tingkat pendidikan sudah lebih maju. Pada kesempatan lain, keputusan yang diputuskan menteri ini menjadi ketakutan tersendiri di daerah terpencil sehingga muncul manipulasi dalam berbagai aspek.
Pada kesempatan ini saya melihat sebuah fenomena yang akan menjadi perdebatan berikutnya. Seakan bisa diramal keputusan ini akan diketuk palu walaupun akan didemo besar-besaran oleh masyarakat yang merasa dirugikan.
Pak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sudah merencanakan sebuah terobosan hebat untuk dunia pendidikan. Jika sebelumnya sudah merekomendasikan Kurikulum 2013 yang belum tuntas dipahami oleh sebagian besar sekolah di seluruh Indonesia. Perencanaan selanjutnya adalah terhadap profesionalisme seorang guru sebelum menjadi benar-benar guru.
Menteri kita ini mencetuskan bahwa semua orang non pendidikan kejuruan guru boleh menjadi guru dan mengajar di sekolah. Kesempatan ini akan dibuka besar-besaran di tahun-tahun ke depan bagi semua alumni pendidikan non guru. Lantas, menteri kita ini mengimingi gelar gr. atau Guru kepada orang yang layak setelah menyelesaikan tahapan pendidikan tambahan selama masa waktu tertentu. Program pendidikan profesi guru yang dicanangkan menteri kita ini bisa diikuti oleh seluruh sarjana tidak hanya pendidikan keguruan. Program profesi yang wajib diikuti itu dilaksanakan minimal 2 tahun dengan materi ajar khusus keprofesionalan seorang guru.
Menteri kita ini mengharapkan dengan adanya gelar gr. dibelakang nama seseorang yang ingin menjadi guru akan dianggap lebih berdedikasi. Sebelum gelar gr. itu benar-benar terealisasikan, saya bahkan ingin bertanya kepada menteri kita ini. Apakah guru yang mengajarkan Pak Menteri dahulu sudah bergelar gr.?
Jika program profesi guru ini sama kedudukannya dengan dr. yang disandang seorang dokter maka mau tidak mau yang harus mengikuti ini berasal dari pendidikan keguruan. Siapa saja yang lulus dari pendidikan guru harus ikut profesi keguruan agar bisa mengajar di sekolah. Namun anggapan menteri kita semua orang bisa mengikuti program ini; mau dari fakultas MIPA, teknik, sampai sarjana dokter boleh ikut, tentu tidak ada istimewanya Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang dimiliki sebagian besar kampus di Indonesia.
Seseorang yang menempuh pendidikan dokter maka harus melanjutkan profesi dokter sehingga mendapatkan dr.. Dalam hal ini tidak ada tawar-menawar jurusan lain agar bisa ikut profesi dokter. Dengan menerapkan semua jurusan boleh ikut program gr., maka semua jurusan pun boleh ikut program dr. bukan?
Inilah persoalan yang mendalam agar bisa dipahami dengan benar oleh menteri kita. Sudah jelas sekali terdapat perbedaan dan keunggulan masing-masing juruan, alasan ada FKIP, MIPA, Kedokteran, Teknik dan lain-lain sudah dipahami dengan betul oleh pelaksanaan pendidikan tingkat tinggi. Semua bidang punya perbedaan tersendiri, tidak pernah bisa disamakan kedudukan keahlian. Setiap alumni juga punya kemampuan di bidangnya, jangan pula memaksa menjadi guru karena kuliah di luar non pendidikan guru. Program menteri kita ini sama dengan mengatakan tutup saja program studi atau fakultas keguruan, karena semua orang bisa jadi guru!
Menilik lebih jauh lagi ke belakang, guru punya kedudukan tersendiri yang tidak bisa diabaikan. Tanpa perlu bergelar gr. guru terdahulu mampu mencetak generasi lebih baik. Menteri seharusnya berkaca pada persoalan yang pernah dialami Indonesia sejak dulu, pandangan ke depan tetap boleh namun bukan membuat keputusan tanpa mempertimbangkan pengalaman.
Berang FKIP yang dianaktirikan karena semua bisa menjadi gr. akan berlangsung di tahun-tahun akan datang. Pada dasarnya, seleksi yang bisa dilakukan menteri (dalam hal ini oleh kampus yang terdapat FKIP atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), dengan melakukan uji kemampuan psikologi dan kemauan seseorang. Sejak awal, calon mahasiswa yang akan masuk ke FKIP harus diseleksi dengan benar. Pintar saja tidak cukup menjadi guru jika tidak ada keinginan kuat mengajar dan menghadapi siswa. Mental saja juga tidak cukup menjadi guru tanpa disertai kepintaran seperti yang dimaui menteri kita ini. Menteri kita seakan secara halus mengatakan bahwa guru sekarang ini tidak ada kualitas sehingga merekrut guru dari non keguruan.
Saya tidak mengatakan menteri ini salah, namun menteri harus lebih bijaksana dan jeli menilai persoalan ini. Guru pula yang menjadikan menteri ini bisa membuat keputusan selalu kontroversi bukan?
Keputusan menteri kita akan segera terlaksanakan dalam waktu dekat. Sebelum keputusan itu menjadi nyata, menteri kita ini sebaiknya bertatap lagi dengan ilmu psikologi. Di mana banyak sekali sarjana keguruan yang kecewa di seluruh Indonesia. Bersaing dengan sarjana non keguruan menambah deretan panjang penderitaan sarjana keguruan, yang barangkali banyak yang sudah menjadi honorer di sekolah yang lagi-lagi tidak pernah ada yang tahu bagaimana nasib mereka.
Kesempatan mendapat gr. biarlah hanya dimiliki oleh sarjana keguruan saja, sama dengan sarjana kedokteran yang mendapat dr. setelah mengambil profesi selama kurang lebih 2 tahun. Dengan demikian, setiap calon mahasiswa sudah akan memikirkan kembali sasaran cita-cita mereka. Tidak hanya asal lulus di kampus jurusan tertentu karena semua bisa jadi guru. Guru tetap guru dan harus kuliah di keguruan. Dokter tetap dokter yang mesti kuliah di kedokteran.
Keputusan menteri kita ini, seandainya benar dilaksanakan, akan banyak sekali kesedihan, termasuk penyelenggara pendidikan keguruan yang alumninya dianggap “remeh” oleh pemangku kebijakan.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H