Pernah lihat tikar pandan? Atau sudah memilikinya?
Sayang sekali, warisan budaya Indonesia, khususnya di Aceh sudah tergerus oleh tikar modern. Harus diakui, tikar pandan sulit sekali didapati di rumah-rumah penduduk. Di mana penggunaan tikar yang terbuat dari plastik sudah menjamur di toko. Faktor lainnya, tikar modern harganya bisa lebih murah dan bahkan setara dengan tikar pandan. Selain itu, tikar pandan dianggap kurang menarik karena motifnya yang itu-itu saja, tipis, cepat rusak jika terkena air, maupun cara pembuatannya yang rumit.
Memang, di daerah-daerah masih terdapat daun pandan dan sebagian masyarakat masih menyempatkan diri membuat tikar pandan. Sebut saja di Aceh Barat, tikar pandan masih dianyam supaya warisan budaya Indonesia tersebut tidak hilang di makan usia bahkan semakin tergilas dengan tikar modern.
Tikar pandan tergolong kerajinan tangan yang membutuhkan waktu lama untuk menganyamnya. Pandan yang dipotong dari pokoknya, disisir sesuai keinginan besar kecilnya, dijemur, lalu baru dianyam. Butuh waktu lebih kurang seminggu jika matahari benar-benar terik untuk mengubah daun pandan hijau menjadi putih. Semakin lama dijemur maka semakin bagus kualitas tikar pandan tersebut. Daun pandan yang sudah kering itu bertambah kuat dan susah rapuh jika intensitas cahayanya mencukupi. Jika ingin tikar bervariasi, bisa saja ditambahkan pewarna alami dengan catatan tidak membuat daun pandan cepat berjamur dan putus jika ditarik.
Proses menganyam daun pandan menjadi tikar utuh juga membutuhkan waktu lama. Proses ini sangat tergantung pada besar kecil tikar yang sedang dianyam. Semakin besar tikar yang ingin dihasilkan maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu anyaman. Demikian sebaliknya.
Produksi tikar pandan semakin berkurang dari waktu ke waktu. Pengalaman ini setidaknya menjadi perhatian pihak terkait supaya kembali digalakkan. Kita mudah saja mendapatkan pandan tumbuh liar di perkampungan atau di pinggir hutan. Lagi pula pembuatan tikar pandan tidak membutuhkan mesin maupun alat bantu lain sehingga mudah dikendalikan komoditinya. Pengayaman tikar pandai hanya membutuhkan keahlian dan pembiasaan. Semakin terbiasa maka semakin rapi tikar yang dihasilkan.
Warisan budaya ini memberikan nilai tambah kepada Indonesia. Menjaga warisan budaya menjadi keharusan bagi setiap generasi. Kita tidak pernah tahu sampai kapan tikar pandan dikenal oleh generasi muda. Kita juga tidak tahu berapa banyak generasi muda yang mampu menganyam tikar pandan dengan baik.
Masa boleh berganti, tetapi sesuatu yang berharga jangan pernah hilang dari ingatan kita. Benar demikian?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H