Saya tergopoh mandi sore itu, hampir terpeleset di kamar mandi yang sempit dengan ceceran busa sabun mandi yang masih belum sepenuhnya mengalir ke sisi rendahnya. Perasaan terburu itu masih berlanjut usai salat Magrib dan mencoba dengan suasana lebih nyaman sehingga saya benar-benar berada di titik tenang. Malam yang datang kemudian dengan angin sepoi dan hawa lebih dingin, saya coba menghirupnya dengan sepenuh hati.
Inilah malam pertama yang paling banyak diidamkan orang. Ke sana kami menuju untuk mendapatkan ketenangan lebih besar lagi. Di sudut itu nanti kami akan melampiaskan segenap lara dan sukar hati untuk mendapatkan pengampunan.
Malam pertama yang saya pikir berharap bahagia.
Saya memang tidak pintar melucu. Jika diminta untuk menuliskan kisah lucu sekalipun, saya terlalu kaku untuk menulisnya. Mungkin ini menjadi bagian dari cerita lucu itu, tentang Bulan yang tak datang, cahaya Bulan yang meredup, atau mungkin juga soal sabit bulan yang barangkali ditutup awan sehingga bibir pantai di dekat rumah kami tidak bisa melihatnya.
Begitulah bermula. Malam yang terang karena cahaya lampu. Azan bertalu-talu di mana-mana. Semangat tak kira saya hadirkan untuk menghadiri malam pertama yang selalu indah. Saya mendayuh sepeda ke masjid dengan lebih kencang. Orang-orang lain berjalan kaki. Sebagian lagi mengendarai kendaraan bermotor.
Tak lama sampai ke halaman masjid. Aura bahagia terlihat.
"Ini malam pertama," ujar seseorang.
"Pertama penuh berkah," ujar yang lain.
"Saya tak mau melewatkan malam pertama," sebut suara lain lagi.
Saya juga tidak ingin. Jamaah berbondong-bondong masuk ke dalam masjid. Kami menikmati aroma yang dihadirkan di dalam rumah Allah ini. Di mana-mana adalah senyum yang menggebu. Salat Isya usai dikerjakan. Seperti biasa, doa panjang dihaturkan kepada-Nya untuk menggenapkan permintaan kami. Doa selesai, mungkin kamu berpikir bahwa langsung memulai tarawih.
Tidak dengan kami. Saya menunggu. Kapan dimulai. Kepala celingak-celinguk ke segala sisi mencari imam masjid. Saya mencari orang yang dituakan; mungkin juga jamaah yang lain. Kami mencari pemuka agama yang selama ini menjadi panutan. Juga belum ada yang bangkit, mengambil microfon dan memberikan pengarahan kepada kami untuk melakukan apa yang semestinya dilakukan; yaitu mengatur saf untuk tarawih malam pertama.