Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sandiwara Radio dari Tsunami Aceh yang Bernilai Edukasi

1 September 2016   16:14 Diperbarui: 2 September 2016   10:11 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Promosi Hikayat Peut Rakan di Tabloid Rumoh PMI

Bencana alam memang tidak bisa ditebak kapan akan terjadi. Jika semua ramalan itu benar, maka kami tentu sudah jauh-jauh hari mengungsi di akhir 2004 itu. Selalu saja, jika bertemu dengan orang luar Aceh, pertanyaan pertama “Bagaimana kamu bisa selamat dari tsunami?” walaupun sudah 12 tahun pertanyaan ini masih menjadi resep ajaib untuk sebuah pertemanan. Saya mulai bercerita bagaimana gaduhnya kami di pagi Minggu itu. Di kompleks kos saya, pinggir kota Banda Aceh, sama sekali nggak tahu apa-apa setelah gempa besar. Suara gemuruh dari belakang rumah saya pikir pesawat yang terbang rendah. Sadar itu baru nyata ketika orang-orang berlarian dan menyebut, “Air laut naik! Air laut naik!”

Sepasang baju di badan, saya lari ke arah orang-orang itu. Tak ada persiapan lain. Saya cuma berpikir bahwa inilah hari akhir seperti yang selama ini saya tahu dari pendidikan sejak dasar. Saya terus berlari saja ke arah yang lebih tinggi. Dalam hati masih berharap bahwa kami tidak apa-apa.

Gaduh kami di Minggu pagi, 26 Desember 2004, telah banyak diceritakan oleh orang-orang melalui media massa, cetak maupun elektronik dan buku. Bencana yang terjadi seketika itu benar sekali di bawah pengetahuan kami. Saya tidak tahu itu bencana besar. Orang-orang juga tidak tahu. Mata terpana saat siang menjelang sore; mayat bergelimpangan di mana-mana, bangunan runtuh, jalan berlumpur dan gempa susulan berkali-kali terjadi. Ini bukanlah film laga, bukan pula hari akhir seperti yang saya bayangkan karena kami masih tersisa, sebagian terduduk sendu di tiap sudut, sebagian menganga, dan meraung-raung sejadinya. Bencana gempa dan tsunami pagi itu menguak tabir pengetahuan kami yang selama ini terpendam. Tak ada pemberitaan sebelumnya. Tak ada kesiapsiagaan bencana. Tak ada evakuasi dini. Tak ada seruan untuk mengungsi.

Lepas dari 2004, saat bantuan datang dari hampir seluruh negeri, berita tentang bencana mulai mencair. Edukasi siaga bencana sudah dilakukan sejak dini. Media mulai mencintai isu bencana yang terus-terusan mendapat update dan bahkan langsung menjadi headline. Tahun 2007 saya terlibat dalam media, yaitu radio. Isu bencana ini kemudian menjadi kentara sekali saat media tempat saya bekerja sebagai freelance menjalin kerjasama dengan lembaga dan media lain dalam menyuarakan tentang bencana alam.

Pada masa ini, radio masih menjadi primadona di kalangan anak muda. Kemasan acara menarik, unik dan menghibur akan didengar sampai habis. Talkshow barangkali sudah sangat wajar, semakin hari kemasan talkshow begitu monoton sehingga siaran radio kurang tepat dalam menjangkau semua kalangan. Gebrakan yang kemudian dilakukan adalah melalui sandiwara radio dengan tema ringan. Program ini sejatinya disponsori oleh Palang Merah Indonesia (PMI) sehingga dinamai Rumoh PMI: Hikayat Peut Rakan. Sandiwara radio berbentuk layanan masyarakat ini diisi oleh empat orang, dua di antaranya adalah penyiar dari radio saya. Tiap minggu, Hikayat Peut Rakan menghadirkan tema ringan tentang bencana, tentang kehidupan sosial di Aceh, dan tema-tema lain, yang dikemas dengan santai, humor dan memiliki nilai edukasi

Program radio kerjasama ini disiarkan oleh beberapa radio jaringan dari PMI pada slot khusus. Radio-radio ini tersebar di seluruh Aceh. Di antara radio yang menyiarkan Hikayat Peut Rakan adalah KBR Antero dan Women Voice Community Radio di Banda Aceh. Radio-radio di daerah antara lain: Megaphone FM, Pro FM, Dalka FM, Rapeja FM, Nara FM, TOSS FM, Adyemaja FM, Citra Pesona FM, Fatali FM, Mitradarma FM, ArRisca FM, Xtra FM, Andyta FM, Gipsi dan Nakata.

Sandiwara Radio Hikayat Peut Rakan yang dikemas dengan asyik menjadi sebuah program tanpa menggurui. Empat tokoh memiliki karakter masing-masing yang kemudian menjadi ciri khas mereka dalam tiap episode. Teman saya, Reka dan Imaide merupakan dua sosok yang memiliki cita rasa dalam mengisi suara. Peran Reka dan Imaide juga disesuaikan dengan sangat pas dalam sebuah drama. Reka kemudian cocok memerankan seorang nenek dan anak kecil. Imaide lantas mendapat peran sebagai seorang ibu. Percakapan Reka dan Imaide dengan dua tokoh lain menjadikan alur cerita menjadi cair dan enak didengar. Celoteh dalam dialog disusun pas untuk semua kalangan sehingga tema bencana yang dihadirkan pun tidak garing.

Promosi Hikayat Peut Rakan di Tabloid Rumoh PMI
Promosi Hikayat Peut Rakan di Tabloid Rumoh PMI
Hikayat Peut Rakan kemudian off karena berbagai alasan. Tahun 2009, sandiwara radio ini benar-benar hilang dari peredaran. Sungguh disayangkan ketika sebuah program bernilai pendidikan harus berhenti siaran. Sama dengan bencana alam yang tidak bisa ditebak, siaran radio ini juga terhenti karena alasan menebak-nebak, terutama masalah dana.

Kacamata saya sebagai penyiar dan pendengar masa itu, Hikayat Peut Rakan mempunyai andil besar dalam hal kesiapsiagaan bencana. Kemasan program yang tidak mendikte lebih mudah didengar saat media visual semakin marak. Tak hanya itu, siaran radio yang kurang menarik semakin tak terbendung untuk ditinggal sejak internet mudah dijangkau. Padahal, siaran radio masih tetap didengar karena dalam melakukan aktivitas lain radio masih bisa menyala.

Hikayat Peut Rakan kini tinggal kenangan. Sama halnya dengan sandiwara radio yang sudah sangat jarang didengar. Bicara masa lalu, sandiwara radio mempunyai andil cukup besar dalam melahirkan aktor dan artis terkenal di eranya.

“Sandiwara Radio adalah sebuah pertunjukan drama yang mengandalkan kekuatan suara. Sandiwara Radio mengandalkan dialog, musik dan efek suara untuk membantu para pendengar berimajinasi membayangkan penokohan dan jalan cerita. Di Indonesia, sandiwara radio meraih popularitas yang sangat besar pada era tahun 1980-an sampai 1990-han. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun