Program berita Prime Time yang tayang di MetroTV pukul 18.00 WIB (17/8/15), membubuhi sebuah pertanyaan di sela-sela pemberitaan perayaan hari kemerdekaan Indonesia ke-70. Mengapa Susilo Bambang Yudhoyoni tidak hadir ke Upacara Bendera hari ini?
Begitulah kira-kira. Pertanyaan yang sama, juga saya tanyakan pada diri sendiri. Saya pernah berpikir, negarawan gagah perkasa dengan tubuh tak ada tanding, merupakan anggota tentara yang diakui “keperkasaannya” ternyata sangat lembek nyalinya. Saya yang orang awam, melupakan begitu saja saat SBY – sebutan keren mantan presiden keenam ini – tak menghadiri rapat keagungan di gedung DPR/MPR beberapa hari lalu. Saya pikir, SBY sedang bernostalgia atau sedang menampakkan kembali “kehebatannya” dalam aksi sosial. Saya maklumi. Namun, pada hari ini saya malah tak mampu menyelami dengan baik perkara tersebut. Saat SBY tak terlihat di acara besar tahunan, pagi maupun sore.
Presiden yang selalu membela diri saat dihardik oleh banyak tuduhan itu tak terlihat saat anggota Paskibra Sadewa mengibarkan bendera maupun saat anggota Paskibra Nakula menurunkan bendera. Sungguh ironi sekali nasib negeri ini. Sial tak bisa dibuang jauh. Orang yang disebut negarawan berlaku seperti anak kecil yang sedang memperebutkan sebuah permainanan. Oh, tidak demikian, hanya dua orang anak kecil yang sedang bertengkar lalu menaruh dendam.
Apa pasal ini terjadi?
Mengulang kasus lama. Membuka memori sepuluh tahun lalu. Dua periode SBY memimpin negeri ini. Menimbulkan luka mendalam pada seorang Mega. Itulah pangkal masalah sebenarnya. Megawati Soekarno Puteri – presiden perempuan pertama negeri ini – dengan santainya tak pernah menghadiri acara kenegaraan semasa SBY memimpin. Mungkin, karena Mega perempuan jadilah sensitifnya teramat tinggi untuk membuat perih. Mungkin, karena Mega perempuan luka di hatinya sampai berdarah daging. Mungkin, karena Mega perempuan kecewa tak mudah dilupa.
Tapi ini tak lagi berhubungan dengan jenis kelamin. Saat SBY melakukan hal yang sama dengan seribu alasan. Apapun alasan itu, masyarakat Indonesia tidak semua bisa menelaah masalah, tidak semua masyarakat Indonesia bisa dibodohi, tidak semua masyarakat Indonesia hanya duduk termenung lalu meratap kemiskinan di sekelilingnya. Masyarakat menilai, memberi pendapat yang hanya didengar angin lalu. Saya hanya menonton siaran berita salah satu televisi, bagaimana dengan televisi yang lain, bagaimana dengan kanal berita online, bagaimana dengan harian umum nasional dan daerah yang terbit besok, bagaimana dengan media sosial yang dibusuki oleh status-status panjang entah siapa pun orangnya.
SBY tak bisa memberi pembenaran. Satu orang mendengar. Satu orang tak mendengar. Satu orang memahami. Satu orang tak memahami. SBY bisa melangkah dengan gagah, namun sikapnya tak segagah langkahnya, walaupun tegap dan bersuara lantang dengan seribu alasan. Cukup rapat “penting” – Sidang Tahunan MPR – negeri ini tak dihadirinya, namun Upacara Kemerdekaan tak dihadiri menambah deretan catatan hitam untuk seorang pemimpin yang tangguh.
Mengutip berita dari CNN Indonesia (16/8/2015), SBY memilih pulang kampung ke Pacitan, Jawa Timur, dan tidak menghadiri perayaan 17 Agustus 2015 karena undangan dari Negara itu bersifat tidak wajib. Saya tidak tahu seberapa pentingnya penilaian masyarakat terhadap dirinya dengan tidak “wajib” undangan dari Istana Negara. Padahal, ini hanyalah seremoni saja – tak memakan waktu seharian bahkan bulanan sampai tahunan. Kerasnya hati SBY menandakan bahwa luka hatinya sama dengan luka hati Mega, padahal jika ditinjau dari kacamata banyak orang pun Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukanlah jadi pemimpin negeri ini karena PDIP semata, tetapi berkat koalisi dengan partai-partai lain yang kita tahu siapa.
Laman Kompas.com (17/8/15), hampir semua mantan pejabat negeri ini menghadiri perayaan kemerdekaan RI di Istana Kepresidenan, di antaranya adalah mantan Wakil Presiden Hamzah Haz, mantan Wakil Presiden Budiono, mantan Wakil Presiden Tri Sutrisno dan sejumlah pejabat lain. Megawati Soekarno Puteri adalah satu-satunya mantan presiden yang hadir karena SBY dan BJ. Habibie berhalangan. SBY tidak hadir karena ingin sekali merayakan hari kemerdekaan di tanah kelahirannya – katanya.
Memang tidak ada yang salah dengan keputusan SBY, apalagi ketika mantan presiden ini merayakan kemerdekaan di Kecamatan Nawangan, Kebupaten Pacitan, Jawa Timur. (Okezone, 17/8/15). SBY menjadi pembina upacara didampingi Ani Yudhoyono dan Edhie Baskoro.
Mau di manapun SBY merayakan kemegahan hari ini, kisahnya tetap jadi sebuah dongeng yang diingat sepanjang masa. Mega telah berbuat salah dan teramat sensitif dengan menutup mata, menulikan telinga, menghentikan langkahnya sampai 10 tahun. Alasan apapun yang SBY garisbawahi itu akan mengakar dan berdarah daging. Sekali ini ini coba-coba, tahun depan berlagak lupa, tahun depan asyiknya liburan ke luar negeri, tahun depan pura-pura sakit, tahun depan karena…