Tahun 2004, begitu selesai sekolah menengah atas saya langsung berangkat ke Banda. Tentu saja niat besar ingin dapat kuliah di perguruan tinggi negeri. Setelah mengikuti tes masuk saya diterima di salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Aceh tersebut. Perkuliahan yang saya jalani hanya berlangsung lebih kurang empat bulan sebelum Aceh jadi luluh lantak dihantam tsunami.
Kabar dari berita sangat simpang siur waktu itu, bencana besar yang melanda Aceh membuat saya menjadi mahasiswa sengsara. Belum lagi menerima kabar tentang keluara di pesisir barat Aceh saya malah tidak mendapatkan banyak bantuan. Bersama keluarga besar ibu kos saya bersama teman-teman lain tinggal di barak pengungsian, tergolong lama karena masa transisi dari pemulihan tersebut.
Saya dan siapa pun tidak pernah menyangka akan mengalami nasib tak baik, jauh dari orang tua dan mengalami masa sulit untuk pulang ke daerah asal. Di perantauan yang membawa luka, jika waktu normal pesisir barat Aceh dengan Banda bisa ditempuh dalam waktu lebih kurang lima jam perjalanan waktu itu, setelah tsunami jalanan di sepanjang lautan lepas tidak berjejak. Untuk pulang ke pesisir barat Aceh kami harus melewati daerah Pidie dan membutuhkan waktu sehari perjalanan.
Awal masuk kuliah, jadi anak rantau saya hanya memikirkan yang senang-senang saja. Kuliah dengan biaya tercukupi dari kiriman orang tua hilang sudah. Perkuliahan tetap kami jalani, kampus sudah menyediakan pendaftaran dan mendata kembali mahasiswa yang masih tersisa. Saya pun mendaftar ulang dan menerima kesempatan tidak bayar SPP waktu itu. Hal itu tidak lantas membuat saya bahagia, keluarga yang tertinggal di pesisir barat Aceh masih belum ada kabar. Ingin pulang pun saya tidak punya kekuatan, ibu kos tidak mengizinkan terlebih gempa masih sesekali mengertak nyawa kami yang tinggal sekali hembus.
Nasib anak rantau yang terkatung-katung membuat saya harus berpikir ulang akan kelangsungan hidup. Kembali ke kos yang berlumpur dan sepi, adalah pekerjaan selanjutnya. Kami membersihkan kos dan kembali tinggal di kos bekas lumpur tersebut menjelang pertengahan 2005. Waktu yang lama sudah kami lewati di pengungsian dengan berbagai lara. Materi banyak berdatangan dari berbagai lembaga, namun batin yang tersiksa jauh dari orang tua tidak ada obatnya.
Keluarga yang selamat pun mengabari bahwa pulang bukan pilihan utama. Keluarga menyarankan untuk bersabar sampai situasi benar-benar membaik. Baru kemudian di puasa tahun 2005 saya pulang ke pesisir Aceh setelah lebih kurang hampir setahun tak pulang. Keluarga benar-benar mengkhawatirkan saya, dan saya pun begitu khawatir dengan kondisi rumah yang belum pernah saya lihat semenjak gempa dahsyat dan gelombang tsunami.
Kembali ke Banda setelah sebulan bersama keluarga menimbulkan lara yang tak pendek. Dengan kondisi keluarga yang serba kekurangan dan ekonomi semakin tidak memihak kepada kami masyarakat pedalaman, membuat saya pernah berniat meninggalkan bangku kuliah. Namun orang tua memberi semangat dan berpikir lain. Terlebih Ibu yang tidak pernah mengatakan tidak akan pendidikan anak-anaknya.
Bermodal nekad hanya beberapa lembar uang seratus rupiah saya kembali ke Banda. Pulang ke kos bekas tsunami dan menjadi anak rantau yang sangat tidak bahagia. Rasanya, mengingat itu saya jadi tidak bersyukur pada Tuhan. Namun begitulah adanya, bencana ini sudah meninggalkan pilu yang tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata sepanjang apa pun sampai menjadi buku.
Memulai perantauan setelah tsunami menjadi lebih rumit dibandingkan sebelumnya. Saya mulai mencari pekerjaan yang bisa menghidupi nafas sepanjang hari. Saya sadar, kemampuan yang saya miliki pas-pasan. Saya pernah melamar di beberapa bimbingan belajar namun tidak pernah lulus. Nasib saya pun tidak sebaik teman-teman lain, lagi-lagi karena modal pesona yang saya miliki tidak mampu memikat lembaga mana pun menerima kelebihan dan kekurangan saya.
Setelah lelah mencari, saat hutang sudah menumpuk di berbagai kolong saya diajak teman ikut dalam sebuah lembaga. Pertengahan 2006 saya pun menjadi relawan di salah satu lembaga yang menangani isu-isu kesehatan remaja. Namun, lembaga ini bukanlah lembaga besar yang mampu mengaji saya seperti lembaga lain yang berdatangan di Aceh setelah tsunami. Lembaga ini memberikan gaji untuk kami hanya cukup sekadar jajan dan ongkos Labi-labi; kendaraan rakyat Banda sampai kini. Patut lembaga ini tidak memberikan gaji besar karena kerja kami hanya memfasilitasi remaja dengan memberikan pemahaman akan kesehatan mereka. Penyuluhan pun kami lakukan ke sekolah-sekolah dengan jadwal seminggu tak lebih dari lima kali.
Karena kehidupan yang semakin mahal, SPP yang harus saya penuhi tiap semester dan keperluan kuliah lainnya yang semakin menggunung saya harus berbenah. Dan Tuhan mendengar maksud saya, dan Tuhan pun mengerti kemampuan saya. Saya kemudian punya kerja tambahan di sore hari dengan mengajar di salah satu lembaga. Dan lagi-lagi, honor yang saya terima tidak sebanding dengan orang lain yang memiliki kemampuan dan kecakapan lebih di atas saya. Paling tidak saya bisa bersyukur bahwa saya punya pekerjaan dan bisa memenuhi kebutuhan selama sebulan.
Jenuh yang melanda, kemudian saya beralih jadi penyiar radio di tahun 2009. Barulah di radio ini kehidupan saya menjadi lebih baik, pemasukan yang daya dapatkan sesuai dengan kinerja dan lelah selama sebulan. Dan lagi-lagi sial datang, pertengahan 2010 radio saya gulung tikar karena obsesi atasan terlalu tinggi.
Kuliah yang saya jalani dengan diselingi kerja rodi di mana-mana tersebut selesai juga. Berbagai alasan sehingga saya harus meninggalkan rantau lalu pulang ke pesisir barat. Saya pulang dan terkatung-katung di pekerjaan tak jelas, ternyata modal pekerjaan yang pernah saya dapatkan di Banda tidak mendukung untuk mendapatkan kerja lain. Akhirnya saya benar-benar tersadar bahwa kemampuan saya sangatlah rendah.
Namun, ada hal yang patut saya syukuri. Merantau ke Banda yang tak jauh – kini bisa ditempuh dalam waktu empat jam saja – sudah mendewasakan saya. Banyak pelajaran yang diajarkan Banda untuk saya. Ternyata, kerja keras dengan penghasilan sedikit bisa menyelesaikan kuliah saya walau setahun tertinggal dari teman-teman seangkatan.
Dan, saya patut bersyukur bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H