Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Saya dan SBY

16 Oktober 2014   22:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:44 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara pribadi, mungkin hanya sedikit dampak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terhadap diri saya. Tahun 2004 SBY pertama menjabat sebagai presiden, tahun itu pula merupakan langkah pertama saya menjadi mahasiswa, menjadi perantauan, dan musibah besar (gempa dan tsunami) menerjang tanah penuh darah ujung Sumatera. Selama perkuliahan saya hanya menjadi mahasiswa biasa-biasa saja, dampak tsunami malah lebih kuat menanamkan luka terdalam pada diri saya. Di mana saya diajarkan untuk mandiri, bekerja sambil kuliah. Seusai perkuliahan panjang lebih kurang 5 tahun, saya terhempas menjadi guru honor yang dipandang sebelah mata oleh banyak kalangan. Setiap hari saya ke sekolah, mengajar, lalu pulang dengan lelah dan menggigit jari di awal bulan saat guru pegawai menerima gaji. Satu-satunya kesempatan untuk saya mendapatkan penghasilan adalah dengan menulis, bertarung dengan sesama penulis lain melawan kerasnya media.

Di mana SBY? Saya tidak tahu. Saya mengenal beliau sebagai presiden. Beliau tidak mengenal saya.

Lantas, untuk apa prolog menyedihkan di atas? Karena masalah tersebut pula saya menyadari SBY telah mengubah hidup masyarakat kurang mampu menjadi seorang mahasiswa. Saat saya kuliah, beasiswa yang kami dapatkan hanya dari kampus atau pemerintah daerah dan beasiswa dari berbagai lembaga lain. Beasiswa ini pun hanya diberikan sekali atau dua kali saja, bukan untuk menghidupi biaya perkuliahan selama 4 tahun lamanya.

Berasal dari keluarga kurang mampu, karena tekad kuat saya beranikan diri mengadu nasib ke Banda Aceh. Beasiswa yang saya dapat bagai mencari jarum di dalam beras. Untuk menyambung hidup dan berbagai keperluan lain saya terpaksa bekerja. Sesuatu yang wajar setelah saya mengetahui banyak teman juga melakukan hal yang sama.

Masalah tersebut sudah berlalu. Saya sudah menjadi guru honor yang data-data penting saja belum terdaftar secara resmi. Ibarat menunggu buah kelapa yang dibawa air sungai, lama ditunggu ternyata tersangkut dipohon tumbang. Begitulah saya menunggu nasib diangkat jadi pegawai sedangkan data belum terdaftar.

Namun, karena guru honor pula saya bisa membantu orang lain duduk manis dibangku perkuliahan dengan manja. Berawal kesulitan yang saya hadapi selama perkuliahan, saya perlu membantu meringankan beban mereka yang layak mendapatkan beasiwa penuh selama 4 tahun. Beasiswa yang saya maksud adalah Bidik Misi.

Sejak tahun 2012, proses penyaluran beasiwa yang dicanangkan SBY melalui Kementerian Pendidikan Nasional semakin dipersulit. Tepat tahun 2013, segala kebutuhan mengurus beasiswa ini wajib didaftar dan diinput melalui proses online dan seluruh data siswa pada tahun tersebut harus terdata dalam sistem di laman www.bidikmisi.dikti.go.id.

Kedudukan saya teramat penting jika kemudian direndahkan oleh orang lain. Masalah yang muncul adalah tidak ada pegawai tata usaha di sekolah saya mengabdi yang mampu memecahkan perkara ini. Akhirnya tanggung jawab ini diberikan kepada saya. Perlahan-lahan saya mempelajari sistem di laman website tersebut. Memasukkan semua data-data yang diminta. Mencetak berkas penting. Dan saya tidak langsung memberikan kepada siswa yang bersangkutan. Kekurangan pengetahuan siswa yang mengajukan beasiswa ini membuat mereka tidak mampu menginput data pendukung, scan keterangan kurang mampu dari kepala desa, upload foto dalam ukuran tertentu dan beberapa bagian penting lain. Keterbatasan ini menggerakkan hati saya untuk kembali membantu pekerjaan mereka. Kendala yang saya hadapi malah lebih rumit, pihak sekolah tidak membantu hal terkecil dari masalah ini seperti pulsa maupun modem. Saya terpaksa membawa tumpukan berkas ke warung kopi dengan fasilitas internet gratis dan mengisi data-data siswa di sana. Saya hanya memegang satu cita-cita, dari puluhan siswa akan akan satu atau dua yang lulus beasiswa ini.

Dan saya tertawa, terharu. Saya lupa hari-hari melelahkan di warung kopi. Lupa berapa cangkir kopi saya bayar sebelum berkas-berkas tersebut tuntas tersimpan semua secara online, lupa kegetiran hati saya yang diabaikan oleh pihak sekolah padahal tugas ini adalah untuk nama baik sekolah di kemudian hari.

Tahun 2013, sebanyak 8 siswa yang mendaftar dinyatakan lulus di perguruan tinggi melalui seleksi undangan (SNMPTN) di Universitas Syiah Kuala. Sebanyak 4 di antara 8 tersebut merupakan pendaftar Bidik Misi. Sayangnya pada tahun 2014 hanya 1 orang yang lulus sebagai pendaftar Bidik Misi. Dalam kecewa karena rasa lelah mengisi data siswa, saya bersyukur bahwa siswa yang lulus ini akan terbebas dari biaya kuliah. Dia adalah Siti Hatiba Hanum, siswa yang lulus di Fakultas Peternakan, Unsyiah.

Siti Habiba Hanum merupakan salah seorang korban tsunami. Ayahnya seorang nelayan dan ibunya adalah ibu rumah tangga. Kehidupan ekonomi yang pas-pasan mendesak saya menerima rajukan Hanum untuk mendaftarkan namanya sebagai salah seorang penerima beasiswa Bidik Misi. Saya meminta data-data penting sebagai syarat dan Hanum memenuhinya. Saya juga masih menerima pesan singkat dari Hanum mengenai pendaftaran ulang dan proses wawancara. Dalam ketidaktahuan saya menjelaskan proses yang telah saya baca sebelumnya di petunjuk beasiswa ini. Kemudian saya meminta Hanum untuk datang ke pihak berwenang di kampus.

Kini Hanum sudah jadi mahasiwa dan penerima Bidik Misi. Akan banyak keuntungan yang didapatkannya selama masa perkuliahan. Hanum, dan juga siswa yang telah lulus di tahun sebelumnya, tidak akan menerima kerasnya hidup sebagai mahasiswa kurang mampu. Mereka tidak perlu bekerja siang malam. Mereka hanya perlu belajar. Karena persemester pemerintah sudah melunasi semua kebutuhan kuliah dan hidup mereka.

Pemerintah itu adalah SBY. Selayaknya, Hanum dan semua penerima beasiswa Bidik Misi untuk berterima kasih kepada SBY. Program beasiswa seperti Bidik Misi hanya baru ada di Indonesia setelah SBY menerapkannya lebih kurang 4 tahun lalu (sejak tahun 2010). Bukti bahwa penerima Bidik Misi adalah lulusan terbaik dapat kita baca di beberapa laporan media. Kemiskinan tidak menuntut mereka untuk hidup dalam kegelapan pengetahuan. Dengan mengratiskan biaya pendidikan maka generasi hebat dari kalangan kurang beruntung dalam ekonomi perlahan-lahan bangkit ke permukaan. SBY telah menarik mereka semua. SBY telah membawa harapan dan cita-cita menjadi nyata. SBY telah mengeluarkan kemelaratan menjadi kesejahteraan. Karena dengan pendidikan semua orang akan terhormat. Karena pendidikan itulah seseorang akan mendapatkan pekerjaan layak.

Terlepas dari kontroversi kepemimpinan SBY. Saya juga melupakan kisruh UN. Lupakan hujatan dan makian yang dialamatkan kepada SBY. Saya hanya mengatakan, SBY telah mengubah wajah pendidikan Indonesia!

Pendididikan adalah segalanya, aspek utama dalam memajukan bangsa. SBY sudah mengerahkan kekuatannya untuk pendidikan merata. Terima kasih, Pak!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun