Ada banyak kesedihan yang harus ditawarkan dalam setiap perjalanan kehidupan. Bahkan pun gembira harus ditawarkan, agar tidak menjadi terlalu manis, asin, ataupun pahit. Kebanyakan orang tidak pernah menawarkan diri mereka kepada kebahagian, seperti manis yang selalu hidup di dalam diri kita. Kita terus mengkonsumsi manisnya kehidupan sehingga tidak punya ruang untuk mengingat bahwa dalam setiap episode, ada namanya kesedihan.
Kesedihan seringnya datang dengan berbagai rasa. Aku kadang merasakannya sebagai suatu yang pahit, lebih pahit dari obat. Kadang asin, lebih asin dari lautan ataupun tambang garam. Kadang serupa manis yang keterlaluan.
Banyak yang bingung. Bagaimana kesedihan mampu datang dalam bentuk yang begitu manis. Kadang, dalam suatu rasa kesedihan, ada sebuah rasa seperti mendapatkan berita baru dalam suatu kehidupan. Menambahkan satu poin kebijakan dalam memandang hidup ini. Aku memberikan rasa manis terhadap kesedihan yang demikian. Manis yang keterlaluan.
Namun, apa yang aku rasakan saat ini belum mampu aku jabarkan. Dalam kategori manakah kesedihan yang sedang berlangsung ini. Apakah dia akan menjadi sesuatu yang aku sebut pahit, ataukah asin, atau mungkin jika kelak di ujung aku akan menyebutkan sebuah rasa manis yang ditawarkan kehidupan oleh rasa luka.
Seminggu belakangan, aku pernah membaca novel dari Paulo Chelho yang dalam salah satu babnya berkisah tentang sadomasokisme, di mana kesakitan, kepedihan, terluka, menjadi jalan bagi orang-orang untuk menemukan kenikmatan. Beberapa orang agar merasa dekat dengan Tuhan, mereka mulai mencambuki diri mereka sendiri. Hingga pada suatu titik, mereka menemukan kenikmatan dalam setiap luka.
Tetapi aku bukan orang yang menemukan kenikmatan dalam setiap luka yang menganga. Walau mungkin, nanti, aku menemukan manis yang diajarkan Tuhan dalam perih kaki yang merangkak melintasi sahara, atau mungkin menapaki belukar yang penuh duri. Terkadang, Tuhan sering bercerita lewat luka-luka yang menganga.
Aku teramat berharap. Dia menghubungiku. Lantas memintaku menjawab “mengapa aku tidak ingin mengganggunya lagi?” atau mungkin dia akan merengek bahwa saat itu jiwanya sedang labil dan dia tidak tahu mengapa dia melakukan itu. Aku teramat berharap. Di mana, pada jawaban pertama aku akan bercerita tentang gundah hati yang aku rasakan, dan pada jawaban kedua aku ingin dia tidak mengulangi lagi setiap keinginan yang demikian.
Aku selalu mencoba menjadi sesempurna apa yang dia inginkan walau seluruh dunia berkata: TIDAK ADA MANUSIA YANG SEMPURNA, aku tetap akan mencoba. Paling tidak, dengan menawarkan diri dan janji untuk tidak akan menyakitinya, setia, dan bertanggung jawab.
Menulis ini, hatiku teramat pedih. Mencintainya membuat aku berefleksi terhadap setiap keinginannya hingga pada satu konklusi aku merasa dia tidak ingin diganggu olehku.
Aku tidak mengerti, apa sebenarnya yang diinginkan oleh manusia. Ketika mereka meminta cinta kepada Tuhan, mereka tidak puas, mereka meminta yang lain, mereka juga meminta kebencian. Mereka ingin melihat, bagaimana ketika Tuhan benci kepada mereka. Namun, Tuhan tidak pernah membenci.
Bukankah engkau sering mendengar: Tuhan tidak mengabulkan apa yang engkau minta, tetapi Dia memberikan apa yang engkau butuhkan. Yang terbaik bagimu.