Menakar rindu, namun tak pernah kunjung usai. Terus menderai, tak jua dia mereda.
Aku rindu. Apa engkau tahu?
Dari semalam mataku tak mampu juga tertutup. Kepalaku serasa ingin pecah. Namamu menderai memenuhi selaksa selaput korteksku. Aku hapalkan namamu agar aku reda, agar terlelap aku lantas memimpikan kamu. Namun tidur semalam tak pernah ingin bersahabat. Dia menjadi penentangku setentang-tentangnya: dia ingin aku alpa soal kamu.
Aku berontak. Aku luluhkan seluruh saraf yang berjejal di sekujur kulit ototku. Aku memaku napas-napas berlahan, dari perut dia aku masukkan lantas melalui mulut aku buang. Mataku terpejam, tegak punggung dengan posisi bersila. Namamu, aku sebut pelan-pelan di atas bayang. Namamu yang tak kunjung usai, tak pernah mati, nan abadi.
Aku rindu. Apa engkau tahu?
Bolehlah jadi aku terus bertahan, namun sampai berapa lama? Sesak di dada, tak ingin aku, kamu, kita usai. Aku tak pernah ingin ada pisah di antara kita. Karenanya aku abadikan bungkam agar engkau tak tahu, agar engkau tak mengerti, agar engkau alpa tentangku.
Beribu-ribu rindu menjalar tegas diantara nadi. Namamu mengalir setiap hentakan napas yang tak bersuara. Irama-irama pekikan: namamu tak juga kunjung usai.
Aku rindu. Apa engkau tahu?
Aku cinta. Engkau harus tahu!
Namun aku tak berani ucap. Aku bukanlah pria yang pantas. Derajatmu terlalu tinggi bagiku. Apalah aku? Cuma manusia, sedang engkau adalah bidadari. Bidadari ketiga.
Aku lelah, namun tak akan pernah menyerah. Walau engkau buang aku jauh dari hadapanmu. Walau engkau gerus aku dari celah hidupmu. Aku belum menyerah. Cinta menafikan aku untuk itu. Pahamilah.