"Apa yang sembunyi di ranselmu itu?"
Lah, memangnya ada aktivitas mudik cuma berbekal tas kosong? Aneh sekali komentarnya, tentu saja isi tas Arsi tak lain sekumpulan pakaian ganti dan beberapa buku bacaan. Justru akan bosan selama perjalanan pulang kampung tak membawa satu pun buku sebagai teman duduk.Â
Maklum, perjalanan dua puluh jam baginya sangat menyita waktu. Akan banyak hal bermanfaat yang bisa dikerjakan daripada mantengin GPS nunggu kapal mendarat, habis waktu hanya di depan gadget.
"Isi tasku, nih.." Sambil membuka ransel, Arsi tampak tersenyum kecut menandakan ia sebetulnya gerah ditanya begitu.
"Isinya cuma baju kotor, kan. Ada sisa cemilan dan air gelasan, selebihnya gak ada yang mencurigakan toh?" timpalnya setengah kesal.
"Ya sudah, sana. Bersihkan diri, ganti baju, istirahat." Pesan Kak Rizky sehabis memeriksa kesehatan adiknya baik-baik saja di rantauan.
"Mana bisa aku istirahat memikirkan kondisi umat yang makin darurat," batinnya menggerutu.Â
Beberapa tahun silam, semua yang melekat di dirinya seolah barang langka. Bahkan pakaian yang menempel di tubuhnya dianggap tidak biasa, sebab tiba-tiba ia pulang dengan mengenakan jilbab dan khimar. Jauh berbeda saat pertama kali ia berangkat tinggalkan rumah.
Saat itu Arsi masih belum mengenal islam secara kaffah, baginya celana atau rok asal jadi saja tak perlu dipersoalkan selama tujuan membungkus aurat sudah ter-cover. Tapi ternyata pemahamannya selama itu keliru, ia mulai mengenal konsep penutup aurat yang benar dalam islam.
"Sepantasnya memang begini, tidak boleh tampak sedikit pun dari aurat wanita kecuali muka dan telapak tangan," perlahan tapi terang ia coba jelaskan hal itu pada Kakaknya yang sibuk memprotes perubahan penampilan Arsi.
"Tapi, kamu sekarang berubah.." timpal Kak Rizky seolah tak terima.