Semangat pemerintah mengutus remaja sebagai duta bahasa, duta budaya, atau duta anak untuk dijadikan ikon pemuda masa kini boleh diapresiasi, karena itu para remaja saling berlomba membuat diri mereka berprestasi untuk tampil unggul dengan segudang potensi. Tidak mengherankan banyak remaja Indonesia berminat menjadi yang terdepan dalam hal apapun, termasuk unggul bagi diri dan sekitarnya.Â
Tapi kita tidak bisa menutup mata dari keberadaan remaja yang akhir-akhir ini malah merugikan pemerintah. Saat remaja lain sibuk beradu ketangkasan dan uji kecerdasan, kita tidak bisa menutup pandangan bahwa banyak remaja Indonesia yang kehadirannya justru membuat rugi banyak pihak.
Sudah menjadi pemandangan biasa di Indonesia, remaja di beberapa daerah ditemukan mengkonsumsi zat adiktif dan terpaksa ditahan dalam sel tahanan hingga masuk ruang isolasi, disinyalir obat-obatan terlarang tersebut merusak saraf yang menimbulkan efek hilangnya kesadaran, lalu berujung pada kematian bagi penderitanya. Remaja-remaja pengkonsumsi zat terlarang ini berturut-turut ditemukan tergeletak di tengah jalan, tingkah lakunya persis orang yang hilang kewarasan, bahkan berita yang lebih memilukan yaitu beredarnya pil-pil berbahaya tersebut oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.Â
Terang-terangan mereka mendapat untung untuk memuaskan kebahagiaan pribadi, namun cuek pada penyakit yang dialami korban akibat meneguk zat pengacau itu. Remaja pun kalap, mudah tergiur hingga akhirnya mati oleh ulah mereka sendiri.
Menyikapi hal tersebut, kita tidak bisa sepenuhnya menyudutkan remaja yang telah menghancurkan diri mereka sendiri. Ada peran tinggi pemerintah disini sebagai tameng yang berwenang mencegah peredaran produk-produk perusak generasi. Utamanya, pemerintah sebagai pembina dan pendidik remaja harus serius menanggapi isu kenakalan remaja.Â
Sebab dengan merawat remaja berarti menyiapkan resolusi perubahan bangsa ada di tangan mereka dengan tidak membiarkan generasi ini hancur karena minimnya pengurusan oleh Negara.
Sayang, demokrasi sekarang tidak suka memberi tempat bagi remaja yang senang melakukan revolusi secara totalitas. Mereka lebih senang melahirkan remaja yang gemar menghamburkan waktu, energi dan pikiran di pusat perbelanjaan, wahana hiburan, larut dalam aktivitas hura-hura. Aktivitas ini melenakan remaja sehingga rentan terkena wabah muda foya-foya, matinya sia-sia.
Remaja stress putus dari pacarnya dianggap wajar, remaja bunuh diri akibat gagal UN dinilai biasa saja, remaja terus-menerus terjerat narkoba dipandang bukan persoalan genting, remaja kehilangan jati diri diartikan tak berharga, remaja depresi setelah di-bully teman di sekolah pun hanya menjadi pemantik bibir, dan masih banyak lagi berita terhangat yang membuat panas telinga masyarakat akibat kenakalan remaja masa kini.Â
Dampaknya gaya hidup remaja kekinian dipandang bak monster mengerikan bagi stakeholder yang bergerak membebaskan Indonesia dari jeratan remaja nakal. Ketakutan tersebut lumrah disebabkan fakta yang tampak adalah remaja menjadi sasaran empuk pegiat modernisasi barat.
Indonesia pun dengan berbagai latarbelakang pemuda tak lepas dari target modernisasi oleh negeri demokrasi. Kota-kota besar tak luput terkena dampak arus perubahan gaya hidup modern, justru remaja di pedesaan ikut terjangkit perilaku hidup yang hedonis ala kebarat-baratan.Â