Mohon tunggu...
Bain Saptaman
Bain Saptaman Mohon Tunggu... Administrasi - guru

aku adalah ..Musik....liverpool...the beatles...kopi....sepeda..vegetarian...... "AKU BERONTAK....maka aku ADA"....

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Gaya Menikah Anak Kos...

1 September 2013   23:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:30 4488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Bikin bangga anak dan cucumu...”

Itulah kata-kata kakakku yang masih terngiang hingga kini saat aku meminta tolong untuk menguruskanpernikahanku. Mengapa beliau bilang demikian? Beliau sendiri memberikan contoh nyata pada saya bagaimana perjuangannya untuk menikah. Hingga, beliau menikah di atas usia 30 tahun hanya karena beliau ingin semua biaya ditanggungnya sendiri tanpa merepotkan pihak lain. Termasuk orangtua kami yang ada di Palembang Sumatera Selatan.

Lalu, bagaimana persiapan saya sendiri sebelum saya menikah? Ada dua persiapan yang saya lakukan. Terutama sebagai anak Kos. Persiapan teknis dan non-teknis

1.Persiapan Non Teknis

Sebenarnya, apa saja sih persiapan non teknis itu? Persiapan yang kita lakukan jauh sebelum pernikahan terselenggarakan untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan. Diantaranya:

-Pendekatan terhadap keluarga istri

Ini penting. Kenapa? Saat saya datang bersama teman Kos (bukan orang tua), keluarga calon istri seakan-akan tak percaya ada seorang anak muda dengan Gaji sebagai guru GTT 30.000 per bulan berani-beraninya “nembung” anak mereka yang notabene saat itu masih kuliah di semester akhir Perguruan Tinggi Negeri. Bahkan, ada salah seorang paman sempat menolak karena takut keponakannya akan dibawa ke Palembang sehingga kuliahnya tidak selesai. Akhirnya saya beri pengertian bahwa saya sendiri sudah bekerja di Jogja. Untunglah, berkat pendekatan yang saya lakukan, keluarga calon istri bisa menerima saya apa adanya. Setelah saya selidiki karena keluarga dan kerabat istri kebanyakan adalah Guru sebagaimana saya. Selain itu, pendekatan ini juga untuk menanamkan kepercayaan bahwa anak mereka tak akan disia-siakan apalagi ditelantarkan.

-Pendekatan terhadap Calon istri

Ini juga penting. Ternyata, mempunyai calon istri anak seorang guru sangat menyenangkan. Oranya nrimo. Tidak neko-neko. Saat berbincang tentang rencana pernikahan beliau tidak menuntut macam-macam. Bahkan, beliau yang menganjurkan saya untuk mengadakan walimah secara sederhana tanpa memaksakan diri. Ternyata, saya dan calon istri banyak memiliki kesamaan visi dan misi ke depan. Pendekatan ini juga berguna untuk menumbuhkan kepercayaan calon istri terhadap kesungguhan kita dalam mengarungi bahtera rumah tangga

2. Persiapan Teknis

Mau ngirit seirit apa pun, biaya pernikahan tetap harus ada. Alhamdulillah, setelah nembung istri rejeki ternyata datang. Saya diterima sebagai CPNS akhir tahun 1995. Jelas ini mempermudah saya untuk mempersiapkan pernikahan. Sebagai CPNS banyak kemudahan meski gaji hanya 80%. Pada saat itu, gaji yang saya terima sekitar Rp 80-an ribu/bulan. Maklum saat itu belum krismon. Apa-apa serba murah. Saya minta waktu sekitar 1 tahun kepada keluarga istri untuk mengumpulkan biaya pernikahan dan mereka setuju. Waktu setahun ini membikin saya makin semangat bekerja. Ternyata menikah menumbuhkan rasa tanggungjawab dengan sendirinya. Selain sebagai guru, saya juga giat kerja di biro penterjemah milik seorang rekan dan memberi privat bahasa Inggris. Jujur saja, ucapan kakak saya di atas kian memicu semangat saya untuk nikah dengan biaya sendiri. Akhirnya, awal 1997, saya menikahi calon istri saya dengan amat sederhana. Lihat saja foto ini.

Tanpa EO, tanpa panggung bahkan tanpa make-up, tanpa hiburan kami menikah dengan apa adanya. Sederhana bukan untuk diucapkan. Sebagaimana yang dikoar-koarkan para Ustad selebriti yang justru menikah dengan berbagai kemewahan. Namun dilakukan dan dibuktikan.

13780540121447314880
13780540121447314880

Ada yang lucu setelah saya menikah dengan istri. Hari itu menikah, hari itu juga kami langsung “memisahkan diri” dari mertua. Kami pulang ke Jogja tinggal di kos-kosan berukuran 2x3 m di daerah Timoho Jogja. Ternyata, pernikahan kami bukan Cuma menyatukan saya dan istri dalam satu keluarga. Tetapi juga menyatukan barang-barang yang kami miliki. Onthel saya dan sepeda jengki istri jadi satu. Perabot rumah tangga piring, gelas, sendok bahkan kompor juga menjadi satu. Maklum anak kos. Sehingga sebagai pengantin baru kami tak perlu banyak memberi perabotan baru. Alhamdulillah,16 tahun menjalani pernikahan dengan 2 anak,

1378054578366379648
1378054578366379648

keluarga kami rukun-rukun saja dan bisa punya rumah sendiri sejak tahun 2003. Pernikahan bukan ajang jor-joran namun mencari keberkahan. Buktikan saja. Banyak yang menikah di depan Ka’bah atau di gedung mewah dengan biaya milyaran, namun cerai beberapa tahun kemudian. So, kenapa takut menikah? Percayalah, Allah SWT sudah mengatur rejeki kita. Yang penting, kelak kita punya cerita pada anak cucu bahwa kita menikah dengan biaya sendiri.....

..........................

poentjakgoenoeng 1-9-13

13780537001113037473
13780537001113037473

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun