Pulang sekolah ... saya dikagetkan dengan raungan sepeda motor yang menyalak di sepanjang jalan Piyungan Prambanan. Kebetulan saya memang sering lewat sana dari Gunungkidul. Kirain ada pawai. Ternyata “pawai” beneran yang dilakukan anak-anak selevel SMA. Entah dari sekolah mana. Saya lupa, hari ini (9/5/16) adalah pengumuman kelulusan tingkat SLTA.
Apa gak risih ya? (osorezan.wordpress.com)
Sungguh pawai yang “luar biasa” dan menakjubkan. Motor digeber dengan knalpot yang memekakkan telingan. Kuping mereka sebagian ditutup sementara orang lain dipersilahkan budeg! Bahkan salah satu motor siswa sempat mogok di POM bensin Pucung piyungan karena panas dan mengeluarkan letupan api saat dinyalakan.
Tak hanya itu. Rambut para penerus bangsa ini dicat berwarna-warni. Mirip pelangi. Ada merah kuning hijau (tanpa di langit yang biru). Ada niat ingin mengambil foto mereka. Namun, melihat mata mereka yang liar dan polah yang beringas saya urungkan. Siapa tahu mereka tersinggung. Apalagi bayangan penganiayaan di Jogja cukup bikin jeri hehehehe. Selain rambut, baju juga menjadi sasaran kegembiraan. Cat pylox yang harganya lumayan mereka lampiaskan ke baju bahkan celana. Mungkin yang ada dalam benak mereka adalah
“kapan lagi ada momen begini. Ini khan hak kami”
Lalu ..... saya Cuma membatin 2 kata : NORAK dan KAMPUNGAN. Mau bukti?
Saya pun pernah muda seperti mereka. Saat kelulusan SMA tahun 1987, tak satu pun dari teman-teman kami yang melakukan pawai. Karena kendaraan kami bersekolah saat itu mayoritas adalah sepeda onthel. Dan beberapa rekan kami yang naik motor RX pun saat itu tahu diri. Mereka pun tidak melakukan pawai atau konvoi yang memacetkan jalanan. Padahal saat itu, kelulusan merupakan hal luar biasa. Karena jarang-jarang sekolah bisa lulus 100%. Bandingkan sekarang, asal IKUT UN, pasti LULUS! Gitu kok bangga terus konvoi!
Bagaimana dengan Rambut dan Baju seragam. Tak satu pun dari kami melakukan aksi corat-coret seragam dan rambut. Padahal saat itu, saya sekolah di sebuah SMA Swasta yang notabene merupakan anak “buangan” sekolah negeri. Bahkan ada yang mengatakan sekolah kami sekolah “remukan koco”! Tapi untuk soal nilai dan kelakuan, kami cukup bangga dengan sekolah kami.
Bahkan, seragam SMA masih tetap saya pakai selama 3 semester saat kuliah.
Di antara rekan-rekan kuliah, sayalah satu-satunya yang masih sering berseragam SMA dengan sepatu basket merek “Warrior” plus onthel kesayangan. Apa nggak Malu? Ngapain malu !! Malu itu adalah sok kaya tapi masih minta ortu atau maling... atau MALU itu adalah MENGGUNAKAN FASILITAS ortu untuk sok di jalanan seperti kelakuan siswi di Medan beberapa waktu lalu....!!! Dengan bermobil mewah, anak ini membentak-bentak seorang Polwan yang hendak menegakkan aturan.
Ahhh itu kan duluuu... siapa bilang?
Saat saya menjadi guru di daerah terpencil, sekolah saya pernah menerima kiriman 2 kardus besar yang ternyata berisi Seragam Pantas Pakai dari sebuah sekolah NEGERI di kota Jogja. Biasanya sekolah-sekolah ini menerapkan aturan khusus saat pengumuman. Seperti:
- Siswa mengenakan pakaian daerah
- Siswa datang ke sekolah diantar atau bersepeda
- pengumuman dikirimkan via pos
- Kerjasama dengan aparat
Bayangkan .... sekolah kota saja tidak mencorat-coret seragamnya dan membagikannya ke sekolah lain buat amal ibadah. Lalu, sekolah mana yang kelakuannya seperti itu?
Anda mau tahu ? sekolah itu bernama HEMAT alias Hidup Enggan Mati Tak Mau. Sekolah apaan itu? Yakni sekolah yang dalam posisi serba salah menerapkan peraturan. Saat peraturan ketat, sekolah ini bakalan Gak dapat siswa. Padahal nyawa sekolah ini sangat bergantung pada siswa yang mendaftar. Saat peraturan longgar, para siswanya berkelakuan bak para preman jalanan...
Emang ada sekolah beginian? Kalo anda bertanya, saya jawab dengan tertawa ... hahahahahha
..........................................
Poentjakgoenoeng, 7-5-16