Mohon tunggu...
IBRAHIM Masamba
IBRAHIM Masamba Mohon Tunggu... -

Penulis lepas yang tertarik pada kajian pendidikan kontemporer dan sejarah peradaban manusia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menafsir Pilpres 2014

27 September 2014   15:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:17 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SESAT TAFSIR PILPRES 2014

Euforia atau kegembiraan berlebihan di ekspresikan oleh jutaan manusia di negara ini. Dari kuli bangunan, petani, nelayan hingga konglomerat berdasi, mereka larut dalam hingar bingar pada hajatan 5 tahunan yang disebut PILPRES.

Rakyat tumpah ruah dilapangan, hotel hingga pusat-pusat perbelanjaan untuk menghadiri deklarasi tim atau hanya sekedar mengikuti kampanye sang kandidat.

Apa sebenarnya yang akan terjadi pada Negara ini, benarkah Negara ini akan berubah. Apakah keadilan akan sepenuhnya menjadi hak bagi mereka yang di dzalimi. Akankan sembako akan murah, apakah busung lapar akan hilang, mungkinkah kesehatan dan pendidikan itu benar-benar gratis tanpa embel-embel, dapatkah 40 juta lebih rakyat miskin papa di Negara ini mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari kelak!

Jika mundur kebelakang, asa ini pernah menjadi slogan-slogan di masa reformasi tahun 1998 silam, juga di awal PILPRES langsung di tahun 2004 dan di tahun 2009. Sebagian besar rakyat Indonesia berharap dan berfikir negara ini akan menjadi superior di mata internasional.

16 tahun sudah reformasi berlalu, 2 kali PILPRES telah digelar, apa yang telah berubah pada republik ini. Rasa-rasanya hampir tak ada perubahan mendasar selain pergantian presiden dan pejabat-pejabatnya dari waktu ke waktu.

Angka kemiskinan tak pernah berkurang, busung lapar terus menghantui, pendidikan dan kesehatan masih menjadi hal yang mahal bagi sebagian orang dan keadilan masih sulit bagi mereka yang tak punya akses kekuasaan.

Reformasi birokrasi dan reformasi sistem kenegaraan lainnya hanya memunculkan lembaga-lembaga adhoc (KPK, Komnasham, Ombudsman, Komisi Kejaksaan dan tentunya puluhan komisi sementara lainnya), selain itu reformasi telah melahirkan otonomi daerah yang juga bermakna otonomi kekuasaan secara setengah-setengah.

Lalu dimana peran penting PILPRES terhadap perbaikan kehidupan bangsa ini, bagaimana pula kabar para aktivis 98?. Dimanakah mereka sekarang berada?. Apakah mereka masih mengawal tuntutan reformasi?.

Pergerakan reformasi di Jakarta tahun 98 dikomandoi oleh beberapa orang elit organisasi masing-masing. Saat ini mereka Anas Urbaningrum (Eks Ketua Demokrat), Pius Lustrilanang (Gerindra), Adrian (Golkar), Budiman Sujatmiko (PDI-P) dan masih banyak lainnya telah masuk dalam elite kekuasaan. Hal yang sama juga terjadi pada aktivis 98 dipelbagai daerah. Ironisnya sebagian dari mereka ada yang bermasalah dengan penegak hukum.

Kini 240 juta lebih rakyat Indonesia gelisah dan tak henti-hentinya memperdebatkan capres pilihannya. Padahal dapat dipastikan yang akan terjadi adalah politik bagi-bagi kekuasaan.

Apa hubungan antara rakyat jelata dengan seorang presiden nantinya. Subsidi pupuk, sembako murah, pendidikan gratis, kesehatan gratis sampai pada kenaikan gaji PNS adalah sebuah janji dan itu memang hak setiap orang untuk mendapatkannya sebagaimana dalam UUD 45.

Sebaiknya bangsa ini banyak belajar pada sejarah negara-negara besar di dunia. Dimana tak satupun dari mereka yang memulai perubahan besar untuk negaranya dari sebuah acara seremoni yang disebut pemilihan presiden.

Sangat jelas bagaimana Iran menjadi sebuah negara terhormat di kawasan teluk persia dengan revolusi Islam Iran dibawah pimpinan Imam Khomaeni. Tiongkok dengan revolusi kebudayaan ala Mao Tse Tung, negara-negara eropa dengan revolusi industri dan negara-negara di Amerika latin dengan revolusi agrarianya.

Mungkin sebagian orang percaya bahwa perbaikan nasib bangsa ini terletak pada pergantian rezim melalui PILPRES. Akan tetapi pergantian pucuk pimpinan sebuah Negara dari masa ke masa hanyalah menjadi arena panggung politik praktis semata. Apa yang dipertontonkan di depan panggung sangat jauh berbeda dengan kenyataan yang berada di balik panggung.

Para konglomerat dan politisi berlomba-lomba memamerkan kekuatan untuk memberikan dukungan kepada para kandidat. Apakah kita akan percaya bahwa dukungan itu demi nasib rakyat semata. Jelas pertarungan ini hanyalah sebuah ajang mencari kedudukan dan keuntungan bagi segelintir orang yang punya kekuasaan dan financial.

Jauh sebelum penetapan kandidat Capres, partai politik telah berusaha sekuat tenaga untuk mengajukan formasi jabatan, tentunya dengan kader yang telah disiapkan untuk mengisi jabatan tersebut.

Well, sebaiknya rakyat kecil menanti PILPRES ini tak perlu saling bermusuhan, saling memfitnah bahkan saling menjauhi, berikanlah hak suara dan tak perlu larut dalam janji-janji manis sang kandidat. Sebab harapan yang terlalu besar akan berubah menjadi sebuah kebencian yang mendalam jika pilihan dan janji tak sesuai dengan kenyataan pada akhirnya nanti. Ataukah jika anda ingin menjadi bagian dalam proses penyelamatan bangsa, maka sebaiknya anda mencatat dan mendokumentasikan janji-janji politik Capres kemudian kawal ketika kelak terpilih nantinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun