Mohon tunggu...
Inovasi Pilihan

Pegiat Literasi vs Habitus Plagiasi

29 Juli 2017   12:04 Diperbarui: 29 Juli 2017   13:19 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stop Plagiarism | img-academy.com

Oleh: Muhammad Arbain*

Dewasa ini, begitu marak orang2 yg menggiatkan literasi di sana sini, baik akademisi, pendidik (guru/dosen), peserta didik (siswa/mahasiswa), politikus, pemerintah, ulama, dan komunitas yang bergerak sebagai pegiat literasi yang ada di Indonesia.

Namun, hingga saat ini geliat literasi (baca-tulis) masih belum signifikan terlihat. Meskipun begitu banyak penulis kelas kakap maupun kelas teri yang ikut menyebarkan virus2 literasi ini, namun tetap saja belum mengubah wajah Indonesia sebagai masyarakat yang gemar berliterasi. Jika dilakukan sebuah survei penelitian pada seluruh perpustakaan yg ada di sekolah atau perguruan tinggi, berapa banyak orang siswa/mahasiswa perharinya mengunjungi perpustakaan. Atau coba cek setiap gramedia yang tersebar di Indonesia, berapa banyak orang yg mengunjunginya.

Copy Paste | sumber: huff.ro
Copy Paste | sumber: huff.ro
Mengunjungi setiap perpustakaan maupun toko buku atau gramedia belumlah bisa dijadikan barometer menggeliatnya literasi di suatu wilayah atau daerah. Jika hanya sekedar mengunjungi tanpa membeli rasanya sulit untuk menggeliatkan virus literasi di negeri ini. Bagaimana mau maju coba literasi di negeri ini. Beli buku saja mikirnya lama, sementara giliran beli pulsa tuk stalking mantan atau pacar gak mikir panjang tuh. Gila berburu buku dan gemar mengoleksi buku adalah semangat para pegiat literasi tulen. Karena buku yg ia beli pasti akan ia baca untuk referensi dalam menuliskan buku yang serupa atau buku pendukung lainnya.

Saya punya beberapa orang teman yg hobinya suka pinjam buku. Terkesan kalau dia juga pegiat literasi. Padahal, buku yg ia pinjam itu bakalan menjadi benda tak bertuan alias gak bakalan dibalikin. Saya sudah menjadi korban, buku yg dipinjam sudah tidak tahu lagi ke mana rimbanya.

Trus, yg lebih aneh lagi, dalam sebuah seminar baik skala lokal maupun nasional bahkan Internasional, saya sempat bertanya kepada tutor yang memberikan seminar tentang literasi. Ia sangat pandai berbicara sampai2 menghipnotis org2 yg hadir waktu itu (tapi tidak berlaku bagi saya). Saya pun mengajukan pertanyaan yg kira2 seperti ini, "Pak, sudah berapa buku yg bapak hasilkan, dan bolehkah saya melihat buku2 bapak? Dan apa yg saya pikirkan benar, ia tidak pernah menulis buku, apalagi membaca buku. Membaca dan menulis adalah aktivitas simbiosis mutualisme. Tidak mungkin ia bisa menulis buku kalau tidak gemar membaca buku. Non sent.

Dan yg aneh lagi nih, di beberapa perguruan tinggi, menurut buku2 yg pernah saya baca. Dosen itu adalah pekerjaan intelektual yg dibebankan dengan tiga hal yaitu; mengajar, penelitian dan publikasi ilmiah, serta pengabdian masyarakat. Nah, kebanyakan kampus sangat kurang penelitian dan publikasi ilmiahnya (baca buku: The Power of Writing dan Proses Kreatif Penulisan Akademik, karya Prof. Ngainun Naim). Dan ironisnya, banyak para guru besar yg dicopot gelar akademiknya cuman gara2 plagiasi yg menjadi habitus. Ini sangat berbahaya, boleh lah menjadikan acuan, namun mesti dilakukan analisa dan melengkapix dengan bumbu2 modifikasi sehingga ada perbedaan yg mendasar terhadap buku yg diresensi itu (istilahnya menurut negara Jepang ATM=Amati, Tiru, Modifikasi), bukan menjiplak seratus persen.

Jadi, menjadi seorang penulis itu tidak hanya mampu menggeliatkan literasi, namun juga harus jujur dalam berkarya. Salam Literasi. Semoga bermanfaat.

#MA#ProvokatorMenulis*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun