Beberapa kali sepeda motornya terhenti, lalu bercakap dengan orang yang ditemuinya, sayangnya bahasa yang dia gunakan dibalas dengan bahasa lain pula oleh orang tersebut. Nenek yang sudah cukup berumur dengan bakulan biji padi dijunjung di kepala, tidak sampai memenuhi bakul, menjawab dengan bahasa Jawa yg sama sekali tidak dia mengerti. Dia sadar telah memasuki wilayah pedalaman di lereng merapi, namun masih tak percaya jika masyarakatnya masih banyak yang tidak bisa merespon dengan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi.
Lalu perjalanan ia lanjutkan semakin menanjak semakin terlihat jelas puncak gunung merapi. Rumah penduduk satu dengan yang lainnya cukup berjarak, dan rata-rata dengan pintu masih tertutup. Tidak ada anak kecil bermain di halaman, atau ibu-ibu yang sekedar duduk-duduk di depan rumah, pria pun tak nampak pula. Sebuah perkampungan dengan inisial ada rumah penduduk, namun persis penghuninya belum terlihat, hanya yang lalu lalang baru ia temui tadi. Suasana kampung seakan membisu, hanya lenguhan sapi dan suara kambing yang terdengar, begitu pula beberapa ekor ayam terlihat berkeliaran di depan salah satu rumah, menandakan kampung tersebut berpenghuni.
Masih terheran-heran, semakin menanjak justru semakin sepi. Di samping kiri kanan jalan yang dilewati terhampar kebun salak yang rata-rata sedang berbuah. Ada juga lahan yang ditanami padi dan hampir menguning, namun tidak sebanyak kebun salak di sekitarnya. Ia mulai curiga bahwa sebenarnya kebun salak tersebut dulunya lahan produktif untuk persawahan. Terlebih di sisi kanan-kiri jalan ada parit kecil yang mengalirkan air cukup deras, dan itu sepertinya cukup potensial untuk mengairi persawahan padi senadainya mereka menanam padi.
Cara panen yang biasanya dilakukan dengan memotong batang padi menggunakan arit ternyata dikatakan tidak cukup efektif menurut mereka. Para perempuan tersebut tampaknya sudah cukup terbiasa dengan pekerjaan seperti itu, belum kelihatan warga pria yang mendampingi mereka memanen padi tersebut.
"Permisi bu, Apa ibu yang punya kebun salak itu?". Ia mencoba mendekati salah seorang ibu yang tersenyum ke arahnya ketika mereka cukup dekat. Namun ibu tersebut malah menjawab dengan bahasa Jawa, dan tidak diketahui juga apakah mereka mengerti dengan apa yang dia ucapkan tadi. Pemahaman bahasa Jawa-nya tidak ada sama sekali dalam berkomunikasi, namun ia tetap mencoba tersenyum ke Ibu-ibu tadi sambil menunjuk ke arah kebun salak di pinggir sawah tersebut. Beberapa kali dia mencoba menjelaskan maksudnya untuk membeli salak dari kebun tersebut, barulah ibu tadi memanggil salah satu rekannya yang sedang memanen juga di petak sebelahnya.
" Masnya mau beli berapa?". Tanya ibu tadi.
" Belinya perkilo atau gimana bu?"
" kalau beli perkilo ndk ada timbangan ee di sini mas, kalau mau beli yang kiloan ada di rumah neneknya mas"
" Beli yang dari pohonnya saja Bu, 20 ribu bisa kan"