Perbedaan pendapat menyikapi wabah ini hampir di tiap daerah terjadi. Masyarakat kita yang sudah bosan diminta diam di rumah, tempat-tempat ibadah ditutup tentunya menjadi kekhawatiran mereka dengan logika awam. Bahwa bala' itu ya dihadapi dengan banyak-banyak berdoa bersama, tetapi wabah kali ini justru menuntut mereka untuk tidak berkumpul. Selain itu tindakan represif aparat juga semakin menyulut logika awam itu untuk melakukan pembangkangan sipil religius (civil religious disobedience) dalam melawan logika medis yang menuntut mereka menghindari kerumunan, di tempat ibadah sekalipun.
Fatwa MUI ataupun edaran pemda itu juga tidak berarti apa-apa jika semua dipukul rata menggunakan dalil Rukhshah uzur syar'i boleh meninggalkan ibadah jamaah, termasuk shalat jumat . Masyarakat kita yang mayoritas merasa tidak pernah ke mana-mana hanya sekitar sawah-rumah yang menjadi rutinitas mereka, apa wajar juga dibubarkan untuk ibadah jamaahnya, ini yang menjadi permasalahan. Kecuali memang di wilayah itu sudah jelas ada yang positif, semua harus mendukung untuk pencegahan penularan.
Tetapi banyak wilayah juga masyarakat nya tidak pernah ke mana-mana, tetapi diharuskan juga untuk tidak boleh berjamaah. Logikanya itu minoritas positif corona mengalahkan mayoritas masyarakat yang tidak terjangkit, semua yang terkena dampak ikut juga diisolasi. Jika memang di wilayah itu potensi penyebaran cukup besar, ya segala upaya harus dilakukan, termasuk juga menutup masjid sebagai konsentrasi terkumpul nya warga.
Akan tetapi jika cukup aman dan jauh dari wilayah terdampak, kiranya tidak perlu ada kekhawatiran berlebih atas itu sehingga menimbulkan perpecahan di masyarakat. Membuka kembali masjid, ibadah jamaah di wilayah-wilayah yang cukup aman dari penyebaran tetap harus dengan protokol kesiagaan, misalnya menggunakan masker, tersedia tempat cuci tangan sebelum masuk masjid, semua area masjid disemprot disinfektan dulu, masyarakat yang sakit tidak boleh datang, dan masih banyak hal-hal yang bisa diupayakan dari pada direpresif dengan logika-logika kekhawatiran yang justru menimbulkan perlawanan dari masyarakat yang mapan dengan logika awam religius nya.
Melawan Bala'Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Bahkan muncul ungkapan di masyarakat kita jika karena wabah saya meninggal di dalam masjid logika mereka menyebut itu syahid. Tentunya logika ini tidak perlu dilawan karena itu menjadi keyakinan mereka bahwa masjid sebagai rumah Tuhan tidak mungkin menjadi tempat bala' yang seharusnya tempat itu dipenuhi untuk mengusir bala'.
Akan tetapi logika medis pun mempunyai cara kerja sendiri ketika meminta masyarakat untuk tidak berkumpul dahulu meski di dalam masjid. Bisa saja mereka yang datang ke masjid itu sudah pernah berkontak dengan orang positif lalu ia menjadi pembawa virus meski tidak sakit sekalipun.
Perbedaan pendapat ini tentunya berpotensi menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Masyarakat yang mendukung penutupan tempat ibadah sementara, dan yang merasa tidak perlu ada yang dikhawatirkan sehingga masjid harus dibuka. Perlu adanya musyawarah warga untuk menyepakati jika memang masid dibuka tentu harus dibarengi dengan kesiagaan bersama untuk mencegah itu, jika memang wilayahnya jauh dari potensi penyebaran virus. Akan tetapi jika potensi penyebaran cukup rawan, semua harus diberikan pemahaman secara lebih persuasif mengajak warga bersama mendukung gerakan-gerakan warga dalam upaya pencegahan, salah satunya dengan menutup masjid sementara.
Pemerintah daerah juga perlu menurunkan tim kesehatan untuk mengecek wilayah-wilayah yang potensi penularan tinggi, masyarakat harus dituntut untuk menghindari perkumpulan warga. Dan di wilayah-wilayah yang cukup aman dari penularan, mobilitas masyarakat juga tidak terlalu tinggi tentu diperbolehkan untuk ibadah jamaah, membuka kembali masjid, tetapi tetap dengan protokol medis standar yang harus diberikan pemahaman kepada masyarakat.
Jadi ketika ada rekomendasi dari tim kesehatan bahwa wilayah itu potensi penularan cukup tinggi, tokoh agama ataupun tokoh masyarakat juga harus bertindak untuk membahasakan itu ke masyarakat, supaya tidak menimbulkan keterbelahan. Begitu sebaliknya, jika potensi penularan masih aman di wilayah tersebut, mereka boleh untuk melakukan ibadah jamaah seperti biasa.