Sayangnya mekanisme atas hak rakyat itu pun didukung pula dengan aturan-aturan yang dibuat oleh mereka yang mengklaim sebagai wakil rakyat untuk penyalurannya dengan sebutan dana aspirasi, reses dan lainnya.
Dana aspirasi yang menjadi andalan para wakil rakyat dalam merawat konstituen sama halnya dengan iming-iming untuk meninabobokkan para pemilih mereka agar tetap loyal memilih mereka. Para pemilih di suatu wilayah lainnya yang pilihan mereka tidak mendapatkan kursi maka mereka pun hanya akan gigit jari karena wakil rakyat lainnya yang tidak mereka dukung hampir mustahil untuk melirik mereka.
Loyalitas Jamaah
Hal yang paling lumrah kita temui saat ini adalah mekanisme pengerahan jamaah-jamaah atau anggota organisasi untuk mendukung para calon yang telah ditetapkan para pimpinan organisasi.
 Tak jarang juga anggota keluarga dari pimpinan organisasi tersebut berlomba-lomba untuk mendapatkan kursi kekuasaan dengan mengerahkan jamaah untuk mendukung mereka.Â
Maka ketika anggota keluarga pimpinan organisasi itu terpilih, pun jamaahnya hanya akan menjadi pendukung yang tidak mendapatkan apa-apa meski mereka berharap besar atas pilihan mereka untuk kesejahteraan mereka bisa lebih diperhatikan.
Manipulasi kesadaran jamaah dengan konsep baiat untuk mendengarkan dan mentaati instruksi pimpinan tak ubahnya sebuah dominasi simbolik seperti yang diungkapkan Filsuf neo-marxis Pierre Bourdieu.Â
Dominasi simbolik itu pun bekerja dengan peran-peran intelektual dengan kapital simbolik, ataupun kapital budaya yang mereka miliki sehingga jamaah pun senantiasa patuh untuk mengikuti arahan dari pimpinan tersebut dengan kesadaran semu (false consciousness) bahwa mereka juga akan mendapatkan timbal balik dari dukungan tersebut.
Akan tetapi pada kenyataannya, jamaah atau masyarakat yang mendukung para wakil rakyat pilihan mereka tak jarang lebih banyak yang gigit jari ketika upaya mereka untuk kesejahteraan yang lebih baik lagi tetapi diabaikan oleh para wakil rakyat yang mereka dukung.Â
Maka munculnya Adagium "Raos Caleg"- Omongan Caleg- dalam bahasa Sasak sudah menjadi idiom yang bermakna negatif untuk menyebut janji-janji dari para calon wakil rakyat yang berbicara secara berapi-api ketika kampanye, namun ketika sudah duduk di kursi kekuasaan, asapnya pun tidak terlihat, padam sama sekali dan secepat itu lupa atas apa yang mereka janjikan.
Memang secara konstitusional untuk menjemput hak rakyat yang terpendam di kuasa negara atas anggaran-anggaran itu diperlukan wakil rakyat sebagai perpanjangan tangan untuk mencairkannya.Â
Maka sudah barang tentu wakil rakyat yang benar-benar mewakili untuk daerah pilihan itu yang memang bisa merangkul dan bergerak untuk kesejahteraan semua masyarakat di dapil tersebut. Bukan wakil rakyat partisan yang hanya memperhatikan para pemilih mereka.