Mencermati Statistik Perbankan Syariah per Februari 2010 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia pada akhir Maret 2010 yang lalu, ada satu fenomena yang menarik untuk dibincangkan. Fenomena itu adalah tentang pertumbuhan nasabah Perbankan Syariah. Berdasarkan data jumlah rekening Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) mulai 2005 hingga 2009 dapat dihitung bahwa rerata tingkat pertumbuhan jumlah rekening BUS dan UUS adalah 25% per tahun. Pada 2005 jumlah rekening tersebut 1,4 juta unit. Sementara pada akhir 2009 telah berjumlah 5,2 juta lebih (lihat grafik di bawah ini). Gambar 1. Grafik Pertumbuhan Jumlah Rekening BUS dan UUS 2005-2009. Meski tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar itu termasuk cukup baik, namun ternyata jika dilihat dari tahun ke tahun justru menunjukkan trend (kecenderungan) penurunan yang cukup signifikan. Dari data statistik tersebut bisa diolah grafik penurunannya seperti di bawah ini: Gambar-2. Grafik Persentase Pertumbuhan Jumlah Rekening BUS dan UUS 2005-2009 Terlihat bahwa tingkat pertumbuhan rekening pada 2006 naik 68,11% dibandingkan jumlah rekening pada tahun 2005. Namun, pada tahun-tahun berikutnya, tingkat pertumbuhan itu semakin menurun hingga pada akhir 2009 tinggal 19,73% --di bawah rata-rata tahunan-- dibandingkan dengan tahun 2008. Bahkan jika dilihat dari jumlah pertambahan unit rekening per tahunnya pun --sebagaimana grafik yang pertama— terlihat adanya trend penurunan yang sama. Fenomena ini menunjukkan adanya gejala stagnasi pertumbuhan rekening pada institusi Perbankan Syariah di Indonesia saat ini. Ini juga berarti terjadi stagnasi terhadap jumlah nasabah, oleh karena jumlah nasabah berkorelasi langsung dengan jumlah rekening. Dan pada gilirannya hal ini secara tidak langsung berpengaruh pula terhadap lambannya peningkatan market share perbankan syariah di tanah air. Kenyataan ini sungguh terasa ironis setidaknya karena dua hal. Pertama, stagnasi itu justru terjadi pada saat pemerintah dan kalangan perbankan syariah tengah berusaha keras mengejar pangsa pasar (market share) 5% dari kue bisnis perbankan nasional sesegera mungkin. Kedua, perbankan syariah justru tidak berhasil menggaet nasabah dari kalangan muslim di tengah penduduk Indonesia yang mayoritas muslim. Stagnasi ini mengingatkan kita kembali pada pertanyaan: apakah perbankan syariah masih memiliki peluang dan optimisme untuk bisa berkembang di tanah air? Kekalahan dalam Perebutan Pasar Mengambang Menurut hasil riset Karim Business Consulting (2004), nasabah perbankan syariah dapat dibedakan ke dalam 3 kelompok. Pertama, nasabah loyalis, yakni nasabah yang meyakini bahwa bunga bank termasuk riba, dan karenanya haram hukumnya. Potensi dana kelompok loyalis ini diperkirakan Rp 10 triliun. Kedua, pasar mengambang (floating market), yakni nasabah yang hanya mengedepankan rasionalitas dalam memandang perbankan, termasuk perbankan syariah. Mereka biasanya bersikap pragmatis dalam memilih, tergantung mana yang paling menguntungkan bagi mereka. Potensi dana mereka diperkirakan paling besar, yakni Rp 720 triliun. Dan ketiga, nasabah yang antipatif dan tidak mau berpindah ke perbankan syariah. Mereka lebih memilih bank konvensional. Potensi dana mereka tak kurang dari Rp 240 triliun. KBC mencatat bahwa pada 2004 saja potensi dana nasabah loyalis Rp 10 triliun itu sudah habis tergarap oleh Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri. Itu berarti, potensi dana lainnya tinggal ditopang dari nasabah pasar mengambang. Namun, kue bisnis sebesar itu tentu menjadi rebutan semua pelaku industri perbankan, tidak saja perbankan syariah. Jika pada kenyataannya tingkat pertumbuhan rekening perbankan syariah sejak 2005 hingga 2009 mengalami trend penurunan yang signifikan sebagaimana grafik pertama dan kedua di atas, maka hal itu membuktikan bahwa kalangan perbankan syariah harus diakui masih kalah dalam banyak hal (langkah, strategi, agresivitas, inovasi produk, benefit yang ditawarkan) dibandingkan perbankan konvensional dalam menggaet nasabah pasar mengambang tersebut. Kembali kepada Jati Diri Beberapa langkah perlu dilakukan untuk mengatasi stagnasi ini. Langkah di bawah ini saya sebut sebagai kembali kepada jati diri perbankan syariah. Kembali kepada jati diri ini sekaligus menepis persepsi bahwa bank syariah selama ini terkesan hanya bisa menjadi "follower" saja bagi bank konvensional. Pertama, kembali kepada prinsip utama perbankan syariah. Salah satu prinsip utama perbankan syariah adalah profit-and-loss-sharing (PLS) dan bukan bunga (riba). PLS memang "bagi hasil", tetapi "hasil" yang dimaksud bisa untung ataupun rugi. Mind-set ini yang perlu dipertajam di masyarakat. Pada kenyataannya, bank syariah menerapkan teknik PER (Profit Equalization Reserve) dan IRR (Investment Risk Reserve) untuk "merekayasa" agar tiap bulan nasabah "seolah-olah" selalu mendapatkan "bagi-untung" dengan menyimpan sebagian keuntungan untuk jaga-jaga (reserve) agar jika suatu saat rugi bank masih tetap bisa membagi keuntungan kepada nasabah. Teknik ini perlu dipertimbangkan kembali karena justru tidak mendidik masyarakat terhadap prinsip "bagi hasil" perbankan syariah yang sebenarnya. Teknik ini juga akan membuat nilai "bagi hasil" berupa keuntungan terlihat relatif konstan dari bulan ke bulan. Jika demikian halnya, lalu apa bedanya menabung di bank syariah dengan "bagi hasil"-nya dibandingkan bank konvensional dengan bunganya? Justru dengan melepaskan PER dan IRR tersebut akan menjadi pemicu dua hal. Di satu sisi, nasabah akan bisa merasakan bagaimana suatu saat mendapatkan bagi hasil yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari bunga bank konvensional; dan suatu saat yang lain memang mereka akan merasakan uangnya "berkurang" karena "bagi rugi". Bukankah ini lebih natural dalam usaha? Di sisi lain, ini memicu dan memacu direksi dan karyawan bank syariah untuk bekerja lebih keras untuk menjaga agar usaha dan investasi yang mereka lakukan terhadap DPK bisa seoptimal mungkin, sehingga memberikan imbal hasil yang selalu bagus untuk dibagi kepada nasabah sebagai "bagi untung". Bagi hasil yang bagus seperti ini merupakan keunggulan kompetitif bank syariah terhadap bank konvensional, sesuatu yang dicari oleh setiap nasabah, terutama nasabah mengambang yang pragmatis. Juga menjadi target bank syariah untuk selalu dikejar. Kedua ekses ini sangat mungkin mampu memicu kedua belah pihak (bank dan nasabah) dalam rangka meningkatkan pertumbuhan perbankan syariah lebih signifikan lagi. Kedua, kembali kepada esensi bank syariah sebagai "beyond banking". Bank syariah memang seharusnya "beyond banking". Bukan (sekedar) bank. Bank syariah seharusnya tidak sekedar berfungsi meminjam dan meminjamkan dana sebagaimana bank konvensional. Karena prinsip PLS mengharuskan bank syariah bertindak sebagai seorang enterpreneur (Saya menyebutnya dengan istilah: iB-preneur). Mereka adalah pihak yang harusnya "risk-taker", dimana tiap saat mereka menghadapi usaha dan investasi yang riil bisa mengalami untung atau rugi. Kenyataan bahwa akad mudarabah -- dimana bank bertindak sebagai pemberi modal kepada nasabah untuk menjalankan usahanya -- sangat jarang digunakan untuk pembiayaan kepada nasabah merupakan bukti bahwa jiwa iB-preneurship itu tidak menjadi ruh di bank syariah. Mereka masih memiliki mind-set yang sama dengan bank konvensional sebagai "safe-player", yang maunya cukup mendapatkan selisih usaha (bunga) dari upaya meminjam dan meminjamkan lagi itu dan "malas" melakukan pembiayaan (financing). Karena itu, sungguh sangat tepat jika UU No. 21 tahun 2008 direvisi agar fungsi Perbankan Syariah tidak sekedar "menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat" melainkan juga mencakup aspek lain sebagaimana layaknya "pengusaha". Pembatasan fungsi yang hanya seperti bank konvensional ini merupakan pengebirian akan potensi bank syariah yang harusnya bisa berbuat lebih banyak. Ketiga, perbankan syariah adalah solusi, bukan alternatif. Islam adalah solusi bagi seluruh aspek kehidupan manusia, mengingat himbauan bagi Muslim untuk masuk Islam secara kaffah (utuh) itu tidak lain adalah implementasi prinsip dan ajaran Islam dalam setiap aspek kehidupan. Hal itu tidak berbeda berlaku pada perbankan syariah. Hanya saja hingga detik ini perbankan syariah kiranya masih diposisikan sebagai sekadar ALTERNATIF saja, sehingga pendekatan yang diambil adalah market driven. Perbankan syariah dilepas begitu saja dalam kancah persaingan mengikuti mekanisme pasar untuk ‘melawan’ kompetitor-kompetitor lain dari perbankan konvensional yang sudah meraksasa itu. Seluruh stakeholder, utamanya pemerintah, harusnya menempatkan perbankan syariah (baca: Perbankan Islam) sebagai SOLUSI, setidaknya untuk dua alasan. Pertama, alasan TEKSTUAL berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Tak diragukan lagi berdasar Al-Qur’an dan Al-Hadits bahwa riba itu haram (Q.S. Al-Baqarah: 278-279). Bahkan tidak saja Islam, melainkan juga agama samawi lainnya. Bunga bank sudah tidak ada syak lagi sama dengan riba. Fatwa majelis tarjih Muhammadiyah awal April lalu tentang haramnya bunga bank -- menegaskan putusan yang sama MUI beberapa tahun silam -- menjadi momen penting bahwa bunga bank atau riba merupakan persoalan serius bangsa ini yang harus dicarikan solusinya. Fatwa tersebut mencerminkan keresahan umat atas kondisi ekonomi kita saat ini. Kedua, alasan FAKTUAL berupa bukti sejarah. Terjadinya beberapa kali krisis keuangan dunia (setidaknya 1998 dan 2008) telah menjadi bukti konkrit betapa rapuhnya sistem ekonomi dan keuangan konvensional (kapitalis, Barat) itu. Jika kini telah terjadi kepincangan antara sektor finansial dengan sektor riil yang njomplang, maka bisa dibayangkan jika gelembung (bubble economy) itu meletus lagi suatu saat. Lehman Brothers saja ketika mengumumkan kerugian USD 3,9 milyar pada triwulan terakhir 2008 yang lalu langsung membuat rontok nilai pasar sahamnya hingga terpangkas 95%. Inilah yang kemudian memicu krisis subprime-morgage yang menghebohkan itu. Namun di sisi lain ada fakta yang menarik di tengah hantaman krisis itu. Ketika bank-bank konvensional berguguran dihempas badai krisis, justru bank-bank syariah menunjukkan kinerja yang tetap baik. Ketika beberapa bank konvensional memiliki CAR minus – padahal persyaratan BI minimal 4% -- CAR Bank Muamalat mencapai 12% (Bank Muamalat, 2002). Setidaknya ini menunjukkan bahwa bank syariah telah terbukti relatif tahan terhadap goncangan krisis finansial. Apakah bukti sejarah itu masih juga kurang memadai dijadikan dasar untuk mengubah wajah perbankan nasional menjadi lebih baik dengan berbasiskan syariah? Kedua alasan fundamental di atas semakin menegaskan bahwa perbankan syariah harusnya diletakkan posisinya sebagai SOLUSI mengatasi problem. Karena itu, pendekatan yang diambil digerakkan oleh sebuah misi (mission driven) untuk mengatasi problem itu dan menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran yang lebih besar. Bagaimanapun, akar permasalahan krisis sudah jelas. Landasan tekstual sudah tegas. Bukti sejarah pun sudah menguatkan sinyalemen itu, bahkan setidaknya terjadi hingga dua kali dalam 12 tahun terakhir. Apakah pemerintah perlu menunggu terperosok ke dalam lubang yang sama hingga tiga kali untuk sekedar sadar dari kekeliruan yang fatal? Bukankah Allah telah memberikan sinyalemen dalam kitab-Nya ketika perintah taat dilanggar dan kerusakan dibiarkan merajalela dalam sebuah negeri, sebagaimana firman-Nya, "Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (Q.S. Al-Israa’: 16). Penutup Kembali kepada ketiga jati diri di atas kiranya cukup menjadi penyempurna upaya-upaya yang telah dilakukan berbagai pihak hingga kini untuk menumbuhkembangkan perbankan syariah di tanah air. Dengan bergandengan tangan dan bersatu padu kiranya perbankan syariah akan segera mendapatkan tempat di hati masyarakat yang memang rindu pada ketentraman dan ketenangan batin dalam mengarungi kehidupan yang fana ini. Jika langkah-langkah ini bisa dilakukan, optimisme perbankan syariah mampu tumbuh subur di negara mayoritas muslim ini masih akan terus menyala-nyala. Wallahu a’lam.
***
Keterangan. Grafik diolah dari Laporan Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia Edisi Februari 2010. Sumber gambar ilustrasi islamic bank: luthfispace.blogspot.com Artikel ini juga diposting di blog ifinance: http://ifinance.bahtiarhs.net
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H