Judul : Negeri 5 Menara
Sutradara : Affandi Abdul Rachman
Penulis Skenario : Salman Aristo
Produksi : KG Production dan Million Picture, 2012
Durasi : 120 menit
Laiknya pulang dari pelatihan motivasi, begitulah kiranya kesan yang saya tangkap sesudah menyaksikan film Negeri 5 Menara (N5M). Kalimat man jadda wajada terngiang-ngiang di telinga sewaktu keluar dari Studio 21 Royal Plaza Surabaya siang itu. Sabtu, 10 Maret 2012.
Mimik wajah Baso masih terbayang hingga detilnya saat mengucapkan ‘mantra’ itu pada anggota sahibul menara di pelataran Pondok Madani. Pun ekspresi ustadz Salman ketika pertama kali memasuki kelas mereka: parang tumpul di tangan kanan, kayu di tangan kiri. Tanpa berkata-kata, ia lalu membacok kayu itu dengan parangnya. Berulang kali, kayu itu tak juga putus. Ketika akhirnya terpotong menjadi dua, sambil mengelap peluh di kening dan napas terengah, ustadz Salman berkata, “Bukan seberapa tajam. Bukan seberapa keras. Tetapi, siapa yang bersungguh-sungguh, dialah yang berhasil! Man jadda wajada!”
Man jadda wajada! Inilah ‘mantra’ yang telah membius banyak orang setelah membaca novel dengan judul yang sama karya Ahmad Fuadi itu. Mantra ini pulalah yang ingin ditularkan oleh film N5M. Tekanan mantra itu hampir terejawantah pada seluruh bagian film, lebih kuat dan mendominasi ketimbang unsur lainnya. Justru karena itulah, N5M saya rasa telah gagal sebagai sebuah suguhan film.
Dari Buku ke Layar Lebar
Sama dengan film Ayat-ayat Cinta (AAC), Ketika Cinta Bertasbih (KCB), Laskar Pelangi (LP), Sang Pemimpi (SP), dan sejumlah film lainnya, film besutan Affandi Abdul Rachman ini adalah ‘korban’ kesekian dari upaya mengangkat novel best seller ke layar lebar. Bagaimanapun, menerjemahkan karya tulis setebal 422 halaman menjadi karya visual berdurasi 120 menit adalah pekerjaan penuh tantangan –kalau tak boleh disebut berisiko. Satu hal yang pasti: film itu tak mungkin mampu mengadopsi seluruh bagian cerita novel aslinya. Dari sisi ini saja risiko itu sudah jelas di depan mata, tanpa perlu menyebar kuesioner: akan banyak pembaca setia novel N5M yang bakal kecewa. (Untuk mengurangi barisan yang kecewa itulah saya sengaja tidak membaca novelnya lebih dahulu :) )
Di sisi lain, sebuah film dituntut mampu menghibur penontonnya, karena memang ‘agar terhibur’ itulah tujuan mereka datang ke bioskop. Itu berarti, dari sisi skenario, film harus memiliki plot yang memikat. Ketiga unsur plot (tokoh, peristiwa, dan konflik) harus diramu menjadi adonan cerita yang terjalin sempurna dengan tikaian dramatik dan klimaks-anti klimaks yang memuaskan penontonnya. Jika tidak, penonton akan kecewa; bahkan kecewa kuadrat bagi pembaca setia novelnya.