Berapa saat lalu, Alhamdulillah saya berkesempatan mengunjungi Palmyra (Tadmur). Sebuah kota kuno di Suriah yang saat ini kembali dikuasai oleh Daulah Islamiyyah (ISIS/IS). Saya suka menyebut dengan nama Palmyra daripada nama Tadmur karena sebutan Palmyra lebih terkenal eksotismenya dikarenakan adanya istana kuno Palmyra yang kini telah hancur. Saya sendiri merasa memang istana tersebut haruslah dihancurkan. Karena selain digunakan sebagai tempat ibadah, disatu sisi kekayaan budaya Palmyra menjadi rebutan dunia saat ini. Hal ini membuktikan bahwa pasukan Daulah Islamiyyah ketika menguasai suatu daerah bukan semata karena kekayaan dan dunia yang menyilaukan. Namun karena penegakan syariat Islam itulah perkara yang terpenting.
Palmyra sungguh sangat indah. Dibalik kehancuran yang diakibatkan pertempuran sengit antara pasukan Daulah Islam melawan Pasukan Pemerintah Suriah, kelompok Syiah Nushairiy, Syiah Hizbullah, Syiah Iran, hingga Pasukan Rusia. Sungguh pertempuran yang tidak adil dalam nalar manusia. Bagaimana 50 junud Daulah Islamiyyah memukul mundur ribuan pasukan gabungan tersebut? hingga saat ini tidak ada yang bisa menjawabnya. Kecuali berita-berita yang beredar yang mengatakan daulah mengerahkan ribuan pasukan saat itu. Keindahan Palmyra masih terasa meski kota tersebut telah hancur, menyisakan estapet pertempuran sengit yang telah terjadi sebelumnya.
Kehancuran Palmyra mungkin tidak separah kehancuran Kota Deir Az Zour di selatan Suriah. Kehancuran Deir AzZour menunjukkan masifnya bombardir yang dilakukan rezim pemerintahan Suriah yang dibantu oleh koalisinya. Hanya beberapa rumah saja yang masih layak dihuni, dan hanya beberapa toko saja yang buka. Namun -masha Allah wa tabarakallah- rasa tawakkal masyarakat muslim awam di Deir AzZour begitu kuat. Mereka tidak meninggalkan puing-puing rumah mereka, dan tetap beraktifitas seperti biasa.
Suatu ketika, saya pernah mengunjungi salah satu kedai di Deir AzZour. Dimana sekeliling kedai tersebut telah hancur yang sekedar menyisakan puing-puing. Tak berapa lama, terdengar suara tembakan dan dentuman keras. Ternyata, rudal pesawat rezim Bassar menghantam salah satu bangunan. Anehnya, penjual kedai tersebut tidak bergeming dari tempat jualannya. Dan tidak nampak rasa ketakutan di wajahnya. Bahkan dia menasehati saya, "Tak perlu takut akhiy, tawakkal kepada Allah".
Bila dibandingkan dengan Aleppo, barangkali kerusakan yang ada di Deir AzZour mungkin hampir sama. Bedanya adalah rasa tawakkal, dan semangat warga yang ada di Deir AzZour untuk bangkit dan memulai kehidupan baru di tengah puing-puing reruntuhan. Rasa tawakkal ini nampak, ketika Allah mudahkan pengepungan terhadap pasukan Bassar di bandara Deir AzZour. Hari demi hari, bulan demi bulan, kaum muslimin dan Junud Daulah Islam tetap bersabar mengepung mereka, dan maju sepetak demi sepetak membebaskan tanah kaum muslimin dari rezim Bassar.
Rakyat Deir AzZour tidak pernah meninggalkan kampung halamannya demi sekedar menghindari serangan udara pasukan Suriah, Rusia, dan terkadang Amerika Serikat. Rakyat Deir AzZour juga tidak pernah berhenti bertahan dari serangan pasukan Suriah hingga Allah balikkan keadaan hingga dapat mengepung mereka. Mereka tidak pernah silau dengan harta dunia, janji keamanan semu dari rezim yang kejam, dan janji-janji dolar dari kaum penjajah Rusia dan Amerika Serikat. Hal ini nampak, saat pasukan bentukan Amerika (Tentara Baru Suriah) bergerak dari Jordania menuju Abul Kamal (kota sebelah Deir Azzour) masyarakat dan junud Daulah Islam bahu membahu mengusir mereka. Sehingga mereka lari terbirit-birit dengan hina dina meninggalkan senjata, dan kendaraan dibelakang mereka.
Pasukan Suriah, dan penjajah gagal merebut hati masyarakat Deir Azzour dan sekitarnya dengan iming-iming dolar, pekerjaan, dan perdamaian semu. Mereka bertawakkal kepada Allah semata dan tidak meninggalkan sejengkal tanahpun kepada rezim dzalim dan penjajah kufur. Keberanian masyarakat Deir AzZour juga nampak mengiringi kesabaran mereka untuk bangkit perlahan-lahan diatas puing-puing rumah mereka yang hancur berantakan. Kini, masyarakat Deir AzZour insha Allah telah terasah dengan peperangan tersebut.
Saya sendiri terheran-heran. Dua tahun lalu, masyarakat Suriah membanggakan Kota Aleppo dan masyarakatnya yang berpendidikan. Bila dibandingkan dengan Deir AzZour, bangunan sekolah, para masayikh tersebar luas di kota Aleppo. Namun agaknya, ilmu dan pendidikan tersebut tidak menjamin keberanian, dan tawakkalnya kepada Allah. Bagaimana masyarakat Aleppo berbondong-bondong menyambut seruan penjajah Turki untuk mencabut syariat Islam di kota-kota yang telah ditegakkan hukum Allah didalamnya? Namun mereka menyerahkan secara gratis kota Syeikh Isa kepada atheis Kurdi (PKK/ Partai Komunis Kurdi). Bagaimana mereka berbondong-bondong meninggalkan kawasan Timur Kota Aleppo menuju Al-Bab, sedangkan mereka mengetahui pasukan Bassar dengan bantuan Rusia merangsek dari arah Barat dan Selatan.
Dua tahun lalu, saya mendapatkan nasihat bahwa ilmu diakhir zaman dapat berubah menjadi syubhat yang justru tidak menambah keimanan kepada Allah. Justru ilmu menjadi syubhat (permasalahan) yang timbul di tengah fitnah sehingga tidak membedakan antara yang benar dengan yang salah. Dan kenyataannya, hal tersebut kini terjadi.
Lalu bagaimana dengan kota Palmyra? Banyak pelajaran penting yang dapat kita petik dari Palmyra.
Diawal takluknya Palmyra pertama, mungkin banyak warga Palmyra yang bangga terhadap harta, rumah, tanah, dan pendidikannya. Hal ini wajar, karena selain sebagai kota wisata, Palmyra juga terkenal sebagai kota yang penduduknya berpendidikan. Banyak penduduk asli Palmyra yang menjadi pejabat, dokter, notaris, pengacara, dll di Damaskus. Mereka memiliki kekayaan yang melimpah dengan rumah-rumah yang eksotis. Bahkan raja Qatar memiliki rumah singgah di pinggiran Kota Palmyra. Belum lagi, kawasan elit di samping reruntuhan istana palmyra, hingga bangunan-bangunan hotel mewah di pinggiran kota Palmyra. Ekonomi kota Palmyra ditopang dari perdagangan, dan sektor wisata.