Mei 1998, mungkin tidak akan ada orang yang mengira bulan tersebut adalah bulan yang sangat monumental kebangkitan banyak sekali ideologi di Indonesia. Fenomena reformasi membuka akses selebar-lebarnya bagi setiap orang untuk mengakses segala informasi. Demikian pula fenomena internet yang terjadi saat ini membuka selebar-lebarnya arus informasi. Sehingga masyarakat tak perlu dibatasi informasi yang beredar. Terbukanya arus informasi ini disatu sisi akan membuat 'berisik' keadaan. Namun disisi lain, masyarakat akan tercerdaskan dengan berbagai informasi yang ada. Mungkin semangat inilah yang perlu kita refresh dalam era informasi kali ini.
Saya yakin, masyarakat sudah cukup pintar untuk menilai apakah sebuah informasi tersebut adalah informasi yang fiktif ataupun tidak. Sehingga tidak perlu kita menjadikan batas-batas informasi tersebut yang akhirnya menjadikan batas-batas dari informasi tersebut. Dalam idealisme saya, hati nurani manusia akan berbicara mana yang benar dan mana yang salah. Mana yang menjadi setting-an pemerintah, dan mana yang benar-benar peristiwa tersebut terjadi. Katakanlah, kebenaran pasti akan menang saatnya nanti.
Semangat ini pernah saya rasakan di awal era reformasi. Anda bisa membayangkan bahwa anak kelas 1 SMA menghabiskan banyak waktu untuk membaca buku-buku filsafat, buku pemikiran, hingga tulisan-tulisan semaun dan tan malaka. Karena saat itu, kakek yang merupakan tokoh lama di Syarikat Islam memiliki banyak sekali manuskrip dan tulisan-tulisan tersebut. Kurang lebih hampir satu tahun, saya terbenam dalam pola pikir filsafat yang sangat bebas saat awal-awal reformasi. Apakah kemudian saya menyesali kehidupan saya? Tidak...
Reformasi menjadi sebuah semangat kebebasan arus informasi dan semangat pembelajaran yang luar biasa saat itu. Semua buku-buku, dan tulisan sejarah terbuka dengan lebar selebar-lebarnya, untuk dipelajari dan dijadikan pelajaran bangsa Indonesia. Demikian pula terjadinya arus informasi yang terjadi di era internet saat ini. Siapapun boleh membaca dan mencari informasi. Dan siapapun boleh belajar dan menimba ilmu yang seluas-luasnya. Tentu dengan proses pembelajaran tersebut akan menjadikan manusia bijak dalam berpikir dan pendapat.Â
Mungkin hanya satu fenomena yang terjadi dalam arus informasi dan internet kali ini. Yaitu munculnya generasi yang ingin menunjukkan jati dirinya (meski kurang dan salah). Sehingga banyak sekali orang 'bodoh dan gila' menjadi terkenal di dunia maya sekarang ini. Mungkin tepat ungkapan "Don't make stupid people famous" perlu diresapi saat ini.Â
Kembali ke tema, isme apapun yang ada didunia ini pada prinsipnya layak dipelajari. Terlepas isme-isme tersebut mungkin dianggap salah dan tidak tepat dalam arus zaman yang subyektif. Namun faktanya, banyak tokoh-tokoh yang berbicara di depan media massa-pun mempelajari isme-isme tersebut, mungkin dengan alasan dipelajari untuk ditangkal keberadaannya Sebut saja tema yang sesuai judul di atas "Terorisme". Kita ketahui pula, banyak pengamat-pengamat terorisme bermunculan saat ini. Apakah mereka tidak mempelajari isme-isme tersebut yang dianggap bertentangan dengan norma dan hukum yang berlaku. Tentu mereka mempelajarinya...
Oleh karenanya, dalam kacamata wacana. Bagi saya. isme-isme tersebut wajib dipelajari meski bertentangan dengan norma dan hukum yang saya anut. Saya sendiri mempelajari undang-undang dan sistem ketata negaraan sekuler dan negara salibis. Untuk mencari celah, dan kerusakan yang ada dalam isme-isme tersebut. Saya mempelajari prosedur penanganan terorisme untuk mengantisipasi hal tersebut. Saya pun mempelajari hukum dan mencermati persidangan Ahok untuk menjadi bahan pembahasan khusus kami.Â
Dalam kacamata wacana, saya menganjurkan ikhwah-ikhwah untuk mampu berpikir cerdas. Tidak semata melarang isme-isme, namun juga mempelajari celah-celah isme-isme tersebut sehingga menjadi pembahasan menarik dalam kajian pemikiran dan strategi. Tentu sudut pandang masing-masing pembahasan wacana dan strategi tersebut tidak akan mungkin sama sesuai dengan subyektifitas masing-masing. Karena saya berkeyakinan, dengan mengetahui pola pikir lawan, saya akan dapat mengalahkan lawan. Tentu, hal tersebut saya fahami, bukan saya yakini.
Dalam hal yang serupa, Terorisme sendiri tidak perlu ditakutkan dalam kacamata wacana. Bagaimana anda membenci terorisme, jika anda tidak mengenal dengan pasti maksud dan tujuan terorisme tersebut. Sama halnya dahulu ketika terjadinya pembantaian G30S PKI, orang-orang terdoktrin bahwasanya pembantaian PKI tersebut yang menyasar ulama, TNI, dan tokokh masyarakat adalah kejam. Namun disatu sisi, kita melupakan pula kejamnya pembantaian paska gagalnya pemberontakan G30S PKI?Â
Mungkin kita perlu mempelajari kenapa PKI menyasar ulama, TNI, dan tokoh masyarakat saat itu? Dan kenapa pula TNI menghabisi orang-orang PKI hingga ke akar-akarnya saat itu pula? Anda pasti tidak akan pernah mendengar angka berapa korban kekejaman G30S PKI dan korban kekejaman pasca TNI mencegah pemberontakan G30S PKI?
Dalam masa DOM (Daerah Operasi Militer) Aceh-pun, masyakarat seolah-olah menutup mata berapa juta rakyat aceh yang dibantai TNI. Disatu sisi, berapa banyak pula orang-orang diluar aceh yang menjadi korban kesukuan dan dianggap sama (digeneralisir) dengan pemerintahan Soeharto. Apa yang dibawa oleh Daud Beureuh lalu digeneralisir oleh orang-orang yang mengeneralisir perisitwa dan pihak-pihak yang terkait dalam peristiwa tersebut. Â Hal yang sama pun terjadi dalam kasus terorisme ini.