Seseorang menghindari penyakit lari dari desanya yang terkena wabah. Sesampainya di hutan, ia
bertemu dengan harimau yang sedang lapar. Sang harimau kemudian mengejarnya. Tunggang langgang
perasaan takut dan terdesak membuat ia tak sadar menyusuri jejak semula, kembali ke rumahnya.
.
.
Keesokan harinya ia mencoba melarikan diri menyusuri sungai. Namun seketika sungai menjadi kering
tak berair. Ia pun ingin belajar terbang, “tapi mana ada burungyang mau mengajariku “ pikirnya.
.
.
Sampai akhirnya semua warga kampung meninggal satu persatu, ia pun yang menggali kuburannya satu
persatu. Tak ada sesiapa. Ia tak ingin mayat – mayat itu hidup dan memaksa kepadanya, lebih dari itu
karena ia sangat menyayangi dan menghormati mereka.
.
.
Seandainya ia tahu, bahwa setelah itu sang harimau sudah enyah dari hutan. Air pun mengalir deras di
sungai, begitu jernih berbayang burung – burung mengepakkan sayap - sayapnya, berkicauan
mengucapkan salam kepada pemuda yang selamat itu, “Sekarang, kau boleh pergi kemana engkau
suka”
.
.
.
Jika waktunya memang sudah harus terbakar, tak ada jalan selain harus merasakan panasnya
.
Salam,
Bahrum , 010210
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H