Mohon tunggu...
Bahrul Wijaksana
Bahrul Wijaksana Mohon Tunggu... Relawan - Profesional dalam bidang transformasi konflik, memiliki ketertarikan khusus pada isu-isu perdamaian, toleransi, pengambangan budaya damai.

Tinggal di Cirebon, saat ini adalah mahasiswa Magister Psikologi Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta. Menekuni bidang pengembangan budaya perdamaian.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Gullible Banget Sih...

22 Januari 2021   08:39 Diperbarui: 22 Januari 2021   08:40 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Gullible artinya kurangl lebih gampang dibodohi atau diperdaya. Kita, manusia, meski dilengkapi akal budi yang lebih canggih ketimbang makhluk lain tapi sebenernya spesies yang rentan untuk dibobodohi, dicipoain. Gampang sekali kita menerima dan percaya pada masukan-masukan yang keliru dan kemudian berprilaku sesuai dengan kepercayaan ngawurnya itu.

Tak peduli pada berbagai riset, pengalaman, dokumentasi, film atau pengetahuan lainnya yang menyatakan bumi itu bulat, tetap saja banya orang yang percaya bumi itu datar. Di Amerika saja ada sekitar 2% yang percaya kalau bumi itu datar (Survey Forbes, 2018). Bahkan di kalangan milenial (umur 18-24 tahun) kecenderungan mereka yang percaya bahwa bumi itu bulat menurun dari tahun sebelumnya. Tahun ini sudah ada 4% milenial yang percaya bahwa bumi datar dan tak berputar.

Dulu ketika pengetahuan manusia belum serumit sekarang, manusia menciptakan berbagai angan-angan yang kabur, ganas bahkan kejam untuk memahami, memprediksi dan mengendalikan sesuatu yang terjadi dalam dunia fisiknya.

Pengetahuan-pengetahuan sejak manusia berevolusi itu kebawa sampai sekarang dalam berbagai bentuknya. Film-film bertema srigala jadi-jadian (werewolf), vampire, zombie, sihir atau kutukan digandrungi banyak remaja di dunia. Jangan heran kalau ada remaja yang ingin (atau mengaku) sudah menikah dengan animee-animee seperti Spiderman, Kura-kura Ninja, Pangeran Dracula, atau lainnya. Ya memang segitu gullible-nya manusia...

Yang lagi ramai sekarang adalah gullibiility dalam politik. Orang menyebutnya propaganda tapi saya sebut saja pencipoaan politik. Pencipoaan politik diduga telah menghasilkan banyak pemimpin-pemimpin politik. Orang semacam Hitler, Mussolini, Dinasti Kim atau Soeharto dapat digolongkan sebagai pemimpin hasil pencipoaan pra-internet. Sementara Trump, Putin, Erdogan, Orban, Duterte ada di generasi pasca-nya. Jokowi? Mikir saja sendiri, malas ribut.

Pola pencipoaan sejak jaman Ptolomeus hingga Gatot Nurmantyo sebenarnya sama, yaitu pengesampingan atau bahkan penghilangan orang-orang yang bisa mikir. Di jaman internet ini, orang-orang yang bisa dan masih mau mikir tak dianggap. Diganti oleh orang-orang yang memiliki kecanggihan lain terutama dalam ilmu menghitung (computing science) dan para cipoa-ers bayaran.

Tapi ya manusia memang butuh fiksi semacam Damai Itu Indah. Karena gullibility atau pencipoaan itu berguna membangun nilai-nilai yang diterima bersama, meskipun fiktif sifatnya. Indonesia, Pancasila, Revolusi Mental juga entitas-entitas yang hanya ada dalam bayangan saja, bukan?

Manusia secara kodrati kan memang a believer, seorang yang cenderung mudah percaya. Mempercayai adalah perilaku primer manusia, sementara menolak adalah perilaku sekunder. Terhadap informasi, mamalia ini cenderung jadi spesies penerima informasi, bukan penolak. Apalagi jika informasi itu bersifat salient (mencolok) secara emosional (horror, sex, kekerasan, drama atau kejayaan), dan disampaikan secara terus menerus. Apalagi jikadiutarakan oleh mereka yang memiliki "otoritas" lama kelamaan fiksi cipoaan akan diproses oleh sistem pencernaan informasi kita dan diterima sebagai sesuatu yang nyata-benar-valid. Cara kerja itulah yang dilakukan oleh Joseph Goebbels, Henry Kissingers, Hitoshi Simizu, Ali Moertopo, sampai BuzzeRp.

Kita kebanjiran informasi dan akan terlalu lama dan berat jika terus menerus kritis untuk menentukan informasi mana yang benar. Situasi ini membuat kita tak lagi skeptis dan gemar menggunakan nalar usaha rendah (low effort thinking), heuristic judgment istilahnya.

Tak heran jika belakangan --setidaknya di sosial media- kita terpecah-pecah dalam berbagai kelompok-kelompok fiktif. Ya fiktif belaka. Kita mungkin pendukung si A karena cuitannya di sosmed cocok dengan apa yang kita mau percaya. Pengikut-pengikut si A yang tak pernah kenal satu sama lain (wong kita saja pakai akun anonim bagaimana bisa saling kenal?) seolah merasa jadi satu kelompok. Apapun yang si A cuitkan, pengikutnya menghamini. Ya namanya juga follower, acceptor, believer pasti lebih rentan dicipoain...

So, bagaimana caranya biar kita gak gampang dicipoain? Menurut teori, orang yang sedang dalam good mood lebih non-gullible ketimbang yang mood-nya kembang kempis. Itu dia masalahnya, di masa pandemik ini bagaimana bisa mau in the good mood kalau ekonomi, politik, sosial dan mental kita juga kembang kempis?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun