Mohon tunggu...
Bahrul Qamar
Bahrul Qamar Mohon Tunggu... karyawan swasta -

All about politic, auditing, economy, and business strategy | Big fan of Manchester United | Dewa 19 | Follow my twitter @bajroel

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

#IndonesiaTanpaJIL dan #IndonesiaTanpaFPI

8 Agustus 2012   04:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:06 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia adalah negara yang bukan milik suatu kelompok tertentu dan Indonesia juga adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Oleh karena itu segala macam bentuk pengkotak-kotakkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang mempunyai indikasi menuju perpecahan anak bangsa itu tidak bisa dibenarkan. Apapun kelompok dalam masyarakat harus mempunyai kontribusi yang positif dalam rangka menjaga pancasila demi menjadikan negara ini aman dan sejahtera.

Fenomena media sosial di Negara ini menimbulkan berbagai macam dampak bagi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Salah satu dampaknya adalah media sosial mempunyai kemampuan untuk membuka lebar-lebar mengenai fenomena yang berkembang di dalam masyarakat. Masyarakat kini bisa mencari informasi yang berkaitan dengan suatu fenomena dengan sangat mudah dan hampir tanpa batas. Hal ini sangat berbeda jika penulis bandingkan dulu ketika internet dan media sosial belum berkembang di Negara ini. Twitter adalah salah satu media sosial yang efektif untuk menyebarkan sebuah informasi, memberikan opini, bahkan sampai kepada menyebarkan paham atau ideologi tertentu. Oleh karena itu saat ini di Indonesia setiap fenomena yang ada dalam masyarakat akan terasa lebih ramai ketika ditulis, dibicarakan, dan diperdebatkan melaui media sosial twitter.

Sebagai pengguna media sosial twitter penulis mengamati bahwa ada beberapa fenomena-fenomena yang ada ditengah masyarakat yang selalu konsisten ditulis, dibicarakan, dan diperdebatkan sampai dengan saat ini. Hal ini bisa disebabkan karena memang fenomena tersebut belum menemui solusi yang konkret dan belum adanya itikad yang serius dari pemerintah. Diantara fenomena-fenomena yang penulis maksud adalah dengan adanya hashtag atau keyword #IndonesiaTanpaJIL dan #IndonesiaTanpaFPI. Bahkan saat ini masing-masing kedua hashtag tersebut telah mewujudkan dirinya menjadi sebuah komunitas di tengah masyarakat dan sudah berlanjut menjadi aksi massa pada beberapa waktu yang lalu. Perlu ditegaskan bahwa penulis tidak membuat dikotomi diantara kedua komunitas tersebut, sebagai buktinya adalah dalam menulis judul, penulis tidak menggunakan kata ‘versus’ dalam memisahkan kedua objeknya namun menggunakan kata ‘dan’. Penulis merasa perlu melakukan kajian dan penilitian lebih mendalam lagi untuk mengatakan bahwa kedua komunitas ini benar saling berhadapan dan berlawanan. Karena penulis melihat bahwa sebagian pendukung #IndonesiaTanpaJIL belum tentu mendukung dan menyetujui sepenuhnya gerakan FPI, begitu juga sebaliknya belum tentu pendukung #IndonesiaTanpaFPI adalah mendukung dan menyetujui sepenuhnya gerakan JIL. Namun penulis mengamati gejalanya yaitu bahwa waktu munculnya kedua komunitas ini hampir bersamaan seperti membuat tandingan komunitas satu sama lainnya, sehingga mungkin itu yang bisa menyebabkan kedua komunitas terlihat seperti berlawanan di tengah masyarakat.

Penulis tidak ingin membahas sejarah dan sebab-sebab mengapa kedua hashtag atau komunitas ini terbentuk. Oleh karena itu penulis tidak ingin terjebak ke dalam polemik tersebut. Penulis hanya ingin menggambarkan kekhawatirannya jika kedua hashtag atau komunitas ini tetap eksis di tengah masyarakat sekaligus penulis ingin mencoba menawarkan gagasan berupa solusi yang mudah-mudahan bisa diterima oleh semua pihak. Saat ini penulis melihat bahwa perbedaan tidak lagi dijadikan sebuah rahmat bagi kedua komunitas dan bukan juga dijadikan sebagai sebuah warna dalam kehidupan berbangsa. Akan tetapi perbedaan yang ada sudah dilandasi oleh semangat permusuhan. Walaupun JIL dan FPI membawa label islam, namun arah perpecahan tidak hanya di dalam islam itu sendiri, akan tetapi juga di dalam bangsa Indonesia secara umum, karena pendukung kedua komunitas tersebut tidak hanya dari umat islam saja. Penulis melihat bahwa dengan membentuk kedua hashtag dan komunitas #IndonesiaTanpaJIL dan #IndonesiaTanpaFPI bukan merupakan solusi yang baik. Keduanya akan menambah jarak antara organisasi tersebut dengan masyarakat, sehingga peluang timbulnya gesekan ditengah masyarakat akan semakin kuat.

Penulis berpendapat bahwa kedua organisasi atau kelompok yang disebut dalam kedua hashtag atau komunitas tersebut harus sama-sama perlu kita rangkul dan luruskan khususnya dalam cara mereka bertindak. FPI sangat keras dalam bertindak untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, sedangkan JIL juga tidak kalah kerasnya dalam memberikan kajian dan opini terhadap kelompok-kelompok islam tertentu yang ingin menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Antipati kepada kedua kelompok tersebut justru akan membuat mereka semakin menjadi-jadi dan semakin tidak sadar. Yang harus kita yakini bahwa kedua organisasi tersebut didirikan pasti mempunyai cita-cita untuk membuat masyarakat dan bangsa ini menjadi lebih baik.

Beberapa kali penulis membaca tulisan dari kedua komunitas bahwa gerakan mereka itu bukan bertujuan untuk saling membenci pribadi masing-masing organisasi namun hanya bertujuan membenci gagasan dan pemikirannya. Tapi mengapa juga dalam beberapa kesempatan ada satu kelompok yang mengatakan bahwa menjadi halal darah salah satu tokoh dari organisasi tertentu. Dan dalam kesempatan lain juga ada suatu kelompok membuat tulisan yang jelas memprovokasi para pembacanya untuk membenci tokoh dari organisasi tertentu. Jelas ini adalah merupakan sebuah ironi yang nyata dalam kelompok tersebut. Penulis berpendapat bahwa membenci suatu gagasan dan pemikiran itu tidak harus selalu diselesaikan dengan konflik, banyak jalan untuk mencari solusi yang lain. Dengan dasar fakta dan alasan diatas menjadi sangat jelas saat ini bahwa sekali lagi dengan membentuk hashtag dan komunitas #IndonesiaTanpaJIL dan #IndonesiaTanpaFPI menjadi gerakan yang tidak solutif bahkan cenderung menambah keruh permasalahan.

Sebenarnya permasalahan diatas akan dapat mudah diatasi jika hukum negara kita dapat ditegakkan dengan semestinya. Namun seperti kita ketahui bahwa saat ini hukum di Indonesia belum mampu menyelesaikan permasalahan ini. Hukum kita lemah dari berbagai macam aspek termasuk dari para aparat penegak hukumnya. Oleh karena itu pemerintah yang harus jeli melihat masalah ini dengan mengambil inisiatif dalam membuat langkah-langkah yang cepat dan lebih konkret, seperti melakukan mediasi contohnya. Mediasi yang bertujuan untuk mengembalikan semangat persaudaraan antar sesama anak bangsa dan untuk mengajak semua pihak untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disinilah peran pemerintah sebagai pembina bisa diaktualisasikan terhadap organisasi apapun yang ada di Indonesia. Penulis melihat bahwa ini solusi yang paling bisa dilakukan dalam waktu yang dekat. Namun jika pemerintah tidak juga begerak untuk menyelesaikan masalah ini, maka penulis berharap kepada para ulama, cendikiawan, dan para tokoh islam serta tokoh bangsa lainnya yang berinisiatif memfasilitasi mediasi tersebut. Dan apapun dari ketiga solusi diatas yaitu melalui penegakkan hukum, pembinaan pemerintah, dan insiatif para elit dan tokoh islam serta tokoh bangsa, penulis menekankan bahwa jangan ada satu pihak pun yang ikut terjebak dalam polemik kedua kelompok tersebut, artinya netralitas harus tetap dijaga.

Penulis menyadari memang agak sulit untuk menyelesaikan permasalahan diatas. Namun harus ada itikad yang baik dari semua pihak dalam menyadari bahwa hal-hal ini tidak boleh terus dibiarkan dan didiamkan. Penulis khawatir bahwa jika dibiarkan, bukan tidak mungkin akan menjadikan kebiasaan yang buruk di tengah masyarakat dalam menyikapi setiap perbedaan yang ada. Bukan tidak mungkin suatu saat nanti akan timbul hashtag atau komunitas #IndonesiaTanpaSunni dan #IndonesiaTanpaSyiah, atau #IndonesiaTanpaNU dan #IndonesiaTanpaMuhammadiyah, atau bahkan #IndonesiaTanpaIslam dan #IndonesiaTanpaKristen. Sangat mengerikan bukan jika masalah ini terus dibiarkan. Oleh karena itu mari kita jadikan momen bulan ramadhan kali ini untuk semua pihak sama-sama saling introspeksi diri dan untuk saling memaafkan. Ayo sadar !!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun