Rancangan Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran) sedang diharmonisasi dalam tingkat Badan Legislasi (Baleg), dikarenakan beberapa ketentuan dalam draft Revisi Undang-undang Penyiaran tersebut dinilai mengancam kebebasan Pers, kebebasan berekspresi, dan kebebasan informasi sehingga secara sistematis nilai-nilai demokratisasi akan akan semakin tergerus.
Dalam tiga pekan terakhir wacana Revisi Undang-undang Penyiaran banyak di soroti publik menjadi isu nasional yang menuai banyak penolakan dari berbagai pihak. Tidak hanya komunitas Pers saja tatapi masyarakat luas juga ikut menolak RUU Penyiaran itu.
Kemerdekaan Pers merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang diperjuangkan bangsa Indonesia melalui gerakan Reformasi 1998 dan masih dilanjutkan sampai sekarang. Kemerdekaan mengeluarkan dan menyampaikan pendapat atau informasi publik jelas terjamin dan  tercantum dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar  1945.
Naskah hasil draf revisi Undang-undang Penyiaran terakhir per 27 Maret 2024 itu banyak menuai penolakan publik karena beberapa ketentuan dalam draft Rancangan Undang-undang Penyiaran yang hendak diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas bersama pemerintah mengungkap intensi pembungkaman kemerdekaan Pers secara terang-terangan. Terdapat beberapa pasal kontroversi salah satunya sebagi berikut :
Pertama, Pasal 8A ayat (1) RUU Penyiaran menyebutkan KPI dalam menjalan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf (q) berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang Penyiaran. Klausul ini dinilai bertentangan dengan fungsi-fungsi Dewan Pers dalam Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Kedua, Pasal 50B ayat (2) huruf c pada pokoknya menyatakan Standar Isi Siaran (SIS) melarang penayangan eksklusif hasil produk jurnalistik investigatif. Klausul tersebut dinilai tumpang tindih dengan UU Pers yang menegaskan bahwa tidak ada lagi ruang penyensoran, pembredelan, atau pelarangan karya jurnalistik termasuk liputan jurnalisme investigasi. Dan masih banyak lagi ketentuan yang mengandung kontroversi dalam draf RUU Penyiaran ini.
Sangat disayangkan jikalau kegiatan jurnalistik investigasi dilarang dengan cuma-cuma. Bisa dikatakan pada awal kemunculannya, jurnalisme investigasi memakai bentuk perlawanan terhadap kebijakan penguasa dan sejak awal abad 20 jurnalisme investigasi menegaskan wujudnya dalam liputan-liputan yang terorganisir untuk melaporkan pelanggaran yang terjadi.
Dengan larangan penayangan Penyiaran jurnalisme investigasi, bukan hanya kebebasan pers sajalah yang telah terenggut bahkan kebebasan berekspresi dan menjunjung tinggi nilai demokratisasi ikut terkikis sehingga demokrasi dan kebebasan yang bangsa Indonesia perjuangkan sejak era reformasi hanya bagaikan hujan yang membasahi tanaman dalam musim kemarau.
Begitupun dengan keadilan. Keadilan akan sukar di temukan ketika kebebasan untuk mencari, mengumpulkan dan menulis serta memberikan informasi di bungkam. Demokrasi atau kebebasan yang di cita-citakan oleh bangsa Indonesia telah terancam punah dengan regulasi-regulasi yang dibuat oleh pemangku yang berwenang yang tidak berlandaskan pada kepentingan umum tapi mengarah pada kepentingan sendiri atau kelompok.
Sebenarnya apa urgensi Rancangan Undang-Undang Penyiaran itu dibahas? dan untuk siapa RUU Penyiaran itu ditujukan? Ini menjadi anomali tersendiri bagi regulasi dan ketentuan yang mengatur kebebasan pers dan kebebasan berekspresi serta demokrasi di Indonesia.