Dari hal di atas, memastikan bahwa konflik yang terjadi itu tidak bisa diselesaikan oleh UU Pers, dan UU Pers tidak bisa dipaksakan sebagai dasar penyelesaian. Artinya, dalam perspektif ini UU Pers tidak dapat dipandang sebagai lex specialis derogat legi Generali. Sebabnya UU Pers harus mengundang sektor hukum lain untuk menyelesaikannya. Hal tersebut dapat diketahui berdasarkan pada ketentuan UU Pers itu sendiri.
Berbagai argumentasi yang secara konkret disebutkan dalam UU itu memastikan bahwa kelengkapan penyelesaian masalah ketika muncul pada tataran aplikatif tidak terpenuhi. Pasalnya, kelengkapan ini menjadi syarat sebuah UU memiliki kualifikasi sebagai lex specialis.Â
Untuk itu, bahwa yang pertama, ketika muncul konflik harus diselesaikan berdasarkan mekanisme hukum yang berkeadilan. Kedua, ternyata UU Pers tidak bisa menjawab tuntutan untuk penegakan hukum dalam aktivitas jurnalistik yang berdimensi keadilan tersebut dan ternyata harus mengundang dimensi hukum lain untuk menyelesaikannya. Ketiga, bahwa lex specialis  dari UU Pers terbatas pada pengaturan yang khusus berkenan dengan kemerdekaan pers dengan konsekuensi pada aliran hilirnya.Â
Keempat, bahwa pada tataran teknisnya masih ada dan banyak sektor hukum lainnya yang harus diakomodasikan sebagai dasar penyelesaiannya. Kelima, bahwa dalam hal pertanggungjawaban pidana terhadap pers yang melakukan tindak pidana dalam hal ini pencemaran nama baik, maka keberadaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers bukanlah merupakan pengecualian pertanggungjawaban pidana dalam aktivitas jurnalistik.
Penulis: Bahrulloh, Mahasiswa Semester 6 Jurusan Ilmu Hukum Universitas Trunojoyo Madura.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H