Belum usai perkara dugaan suap proyek wisma atlet yang menjerat Muhammad Nazaruddin, publik negeri ini kembali dihebohkan dengan berita kasus korupsi di Kemenakertrans yang diduga juga melibatkan Menakertrans dan Badan Anggaran DPR. Kasus Suap Kemenakertrans mencuat sejak KPK menangkap tangan Sekretaris Direktorat Jenderal Pembinaan, Pembangunan Kawasan Transmigrasi (Ditjen P2KT) I Nyoman Suisnaya, Kabag Program Evaluasi di Ditjen P2KT bernama Dadong Irbarelawan dan seorang pengusaha wanita bernama Dharnawati. Sungguh ironis, berbagai ulasan seputar kasus suap menyuap yang marak di berbagai kalangan masyarakat dan media sepertinya masih jauh lebih lambat dengan kecepatan munculnya nama-nama baru pelaku suap menyuap. Tak mengherankan apabila banyak kasus suap menyuap menguap begitu saja karena perhatian publik secara reflek beralih kepada kasus baru. Dari berbagai liputan media begitu banyak kasus suap menyuap yang melibatkan pejabat, anggota dewan, politisi bahkan penegak hukum mulai di level pemerintah daerah sampai di tingkat pusat. Dalam laporan tahunan KPK disebutkan, tahun 2010 kasus korupsi berdasarkan jenis perkara yang masuk tahap penindakan KPK yang menjadi “jawara” di posisi pertama adalah kasus penyuapan dengan jumlah 19 perkara. Paling heboh ialah kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) Miranda Goeltom dan telah menjadikan 26 anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 sebagai tersangka. Sebelumnya, empat anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR pada periode yang sama telah menjadi terpidana perkara tersebut. Belum lagi kasus suap dan korupsi Gayus Tambunan, kasus suap Hakim Syarifuddin yang ditangkap tangan oleh Penyidik KPK, Kasus Sjamsul Nursalim terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Rp 47,5 triliun yang ditangani jaksa Urip Tri Gunawan justru menciptakan tersangka baru melalui penggerebekan KPK sehingga jaksa ini disebut ”jaksa Rp 6 miliar” dan lain-lain. Kasus suap menyuap yang silih berganti makin membuktikan betapa fenomena suap seolah sudah menjadi tradisi dan terjadi secara kasat mata di negeri ini. Dan celakanya, suap juga terjadi dikalangan masyarakat biasa bahkan banyak yang menganggap suap sudah menjadi perkara biasa dan lumrah dilakukan. Fenomena suap terjadi mulai di jalan, sekolah, seleksi CPNS dan pengurusan administrasi di kantor-kantor pemerintahan. Alasan mereka sederhana, melakukan suap menyuap karena memang kondisinya juga memungkinkan untuk melakukan itu. Tak ada sanksi yang tegas bagi penyuap atau yang disuap. Akhirnya, budaya jelek itu merayap dari tingkat paling rendah, sampai ke tingkat paling tinggi dalam strata sosial. Suap, Budaya Yang Terlaknat Dalam bahasa Arab, suap diistilahkan dengan risywah. Dalam bahasa Arab, risywah bermakna upah atau pemberian yang diberikan untuk suatu maslahat. Suap atau risywah adalah perkara yang dilaknat oleh Allah dan rasul-Nya. Diriwayatkan bahwa Nabi saw. Bersabda: “Allah melaknat ar Raasyi dan Al Murtasyi” (HR. Turmudzi dari Abdullah bin Amr). Ar Rasyi adalah orang yang memberikan risywah. Sedangkan Al Murtasyi adalah orang yang mengambil/menerima risywah. Semua suap adalah haram, apapun bentuk dan jenisnya, banyak atau sedikit, dengan cara apapun dibayarkan atau diberikan, atau dengan jalan apapun juga harta atau uang itu diterimakan. Orang yang menjadi perantara dalam suap juga mendapat laknat Rasulullah SAW seperti sabdanya : “La ana Rasulullaahi ar raasyi wa al murtasyi wa ar raaisyi”. Rasulullah telah melaknat penyuap, penerima suap dan perantara di antara keduanya (HR. Ahmad Thabrani, Al Bazzar dan Al-Hakim dari Tsauban). Hadits ini menunjukkan secara jelas dan tegas tentang haramnya perbuatan suap menyuap dan mendapat celaan yang keras dari Allah dan Rasul-Nya berupa laknat. Rasulullah juga dengan tegas melarang pejabat menerima hadiah dan suap. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena buat apa memberi sesuatu bila tanpa maksud di belakangnya. Saat Abdullah bin Rawahah tengah menjalankan tugas dari Nabi untuk membagi dua hasil bumi Khaybar separuh untuk kaum Muslimin dan sisa-nya untuk orang Yahudi, datang orang Yahudi kepadanya memberikan suap berupa perhiasan agar ia mau memberikan lebih dari separuh untuk orang Yahudi. Tawaran ini ditolak keras oleh Abdullah bin Rawahah, “Suap yang kalian tawarkan adalah haram, dan kaum Muslimin tidak memakannya”. Mendengar ini, orang Yahudi berkata, “Karena itulah (ketegasan Abdullah) langit dan bumi tegak” (Imam Malik dalam al-Muwatta'). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR. Imam Ahmad). Nabi seba-gaimana tersebut dari hadits riwayat Bukhari mengecam keras Ibnul Atabiyah lantaran mene-rima hadiah dari para wajib zakat dari kalangan Bani Sulaym. Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada mental aparat pemerintah. Allah SWT telah menamakan risywah sebagai suht dalam firman-Nya tentang kelakuan orang-orang Yahudi yang suka makan yang haram. Yang dimaksud dengan as suht adalah suap atau risywah. Sebab risywah merusak masyarakat, merusak para penguasa, merusak para qadli (hakim), merusak para pegawai, membahayakan orang-orang yang berlaku benar (ahlul haq), mengutamakan orang-orang fasiq, yang dengannya terjadi berbagai kerusakan di masyarakat. Maka risywah atau suap menjadi wabah yang berbahaya, jika telah tersebar luas di masyarakat maka risywah/suap ini akan merobohkan sistemnya, dan membuat orang-orang jahat lebih utama daripada orang-orang baik. Dan kebenaran akan dihinakan. Oleh karena itu layaklah kalau risywah/suap dikatakan sebagai suht dan batil yang termasuk perkara dosa besar dan harus disetop dengan segera. Setop Budaya Suap Mengapa di negeri ini fenomena suap menyuap menjadi hal yang biasa? Paling tidak kita bisa menyikapinya dengan jawaban seperti ini. Pertama, dalam soal pemikiran. Pemikiran yang berkembang sekarang ini, begitu banyak, di antaranya sekulerisme, asas manfaat, dan kenikmatan jasmani (permisivisme) yang saat ini menguasai masyarakat. Pemikiran sekuler memisahkan agama dari kehidupan, sehingga menganggap interaksinya dalam kehidupan tidak perlu terikat dengan agama sehingga sangat mudah baginya bermkasiat, termasuk suap menyuap. Adapun asas manfaat yaitu menilai kebaikan dan keburukan dengan tolok ukur manfaat, padahal dalam Islam tolok ukur perbuatan seharusnya adalah halal dan haram. Paham permisivisme mengganggap kebahagiaan diperoleh diukur dengan terpenuhinya berbagai kebutuhan manusia dan cenderung menghalalkan segala cara, termasuk suap menyuap. Padahal bagi seorang muslim, kebahagiaan adalah dicapainya ridha Allah SWT. Kedua, tentang perasaan. Budaya suap menyuap dan tindakan maksiat lainnya, seperti korupsi, manipulasi, pergaulan bebas terlahir dari masyarakat yang perasaannya tidak Islami, yang individunya tidak menaruh rasa benci terhadap perbuatan-perbuatan tersebut. Bila masyarakat ini punya satu perasaan yang sama, maka mereka bisa mengontrol dengan baik perbuatan-perbuatan nyeleneh yang dilakukan oleh anggota masyarakat lain. Dalam hal ini Islam telah menjelaskan betapa buruk dan kejinya suap, bahkan para pelaku suap menyuap mendapat laknat dari Allah SWT dan RasulNya, maka seorang muslim seharusnya merasa benci dan muak terhadap pelaku suap menyuap sebagaimana merasa benci dan muak pada daging babi. Ketiga, dalam soal peraturan. Peraturan itu berfungsi untuk mengatur interaksi antar individu dalam masyarakat guna mewujudkan berbagai kepentingan. Dalam masyarakat yang tidak Islami, peraturan tersebut justeru malah memberikan peluang lebih besar kepada anggota masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan yang dilarang, termasuk suap menyuap itu. Oleh karena itu harus diadakan perubahan terhadap peraturan yang ada sehingga yang diterapkan adalah peraturan Islam. Islam punya kiat tersendiri dalam menggebuk pelaku aktif suap menyuap. Selain dengan tegas mengharamkan suap menyuap dan larangan menerima hadiah bagi pejabat, ada peraturan tertentu bagi harta suap yaitu semua harta yang diperoleh melalui suap dipandang sebagai harta haram, serta tidak dapat dimiliki, harus disita dan diserahkan kepada Baitul Mall atau kas Negara (Abdul Qadim Zallum dalam kitab “Al-Amwal”, hal 118). Bagi mereka (penyuap, yang disuap dan perantara suap) itu, Islam akan menjatuhkan hukuman berat, terutama bila pelakunya adalah aparatur negara. Bisa saja hukuman penjara, yang lamanya tergantung kepada tujuan suap itu sendiri menurut kejadian dan keadaannya yang berbeda-beda (Abdurrahman Al-Baghdadi, Serial Hukum Islam hal. 56). Suap menyuap sudah menjadi problema masyarakat, bukan lagi sekedar problem individu karena sudah terjadi dalam berbagai interaksi dalam kehidupan bermasyarakat. Sementara fakta masyarakat adalah sekumpulan individu yang diikat oleh kesamaan pemikiran, perasaan dan peraturan. Dengan demikian, metode penanggulangan suap yang terjadi dalam masyrakat tidak Islami adalah dengan mengadakan perubahan pemikiran, perasaan dan peraturan yang tidak islami menjadi Islami. Dengan demikian akan terwujud masyarakat Islami yang akan mampu menekan tindak kemaksiatan sekecil-sekecilnya.wallahu alam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H