Mohon tunggu...
Bahrul Ulum
Bahrul Ulum Mohon Tunggu... wiraswasta -

Trainer Kewirausahaan dan pendamping UMKM, Direktur Makassarpreneur, website :www.makassarpreneur.com, www.bahrul-ulum.net

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Melepas Jeratan Utang Luar Negeri

3 November 2011   05:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:07 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Utang luar negeri Indonesia setiap tahun semakin menggunung. Namun, meski utang luar negeri yang membebani anggaran semakin besar, hingga kini belum ada perubahan radikal pada pola kebijakan berbagai rezim. Pemeritahan SBY-Boediono yang saat kampanye dulu menjanjikan perubahan pun masih mempertahankan pola kebijakan rezim sebelumnya, yakni mempertahankan defisit anggaran dan menutup defisit anggaran melalui utang. Untuk membiayai belanja negara tahun 2012 misalnya, pemerintah akan kembali berutang sebesar Rp133,56 triliun.

Dalam rapat paripurna pengesahan RAPBN 2012 lalu (28/10/11), defisit APBN 2012 dipatok sebesar Rp 142,02 triliun atau 1,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit anggaran itu akan dibiayai oleh sumber dana non utang Rp9,54 triliun dan pembiayaan utang Rp 133,56 triliun.Tercatat jumlah utang luar negeri Indonesia sampai September 2011 mencapai Rp 1.754,91 triliun dengan rasio utang terhadap PDB mencapai 27,3%.

Selama masa pemerintahan SBY, jumlah utang dalam negeri Indonesia juga terus membengkak. Pada tahun 2004 sebesar Rp 662 trilyun, tahun 2005 Rp 656 trilyun, tahun 2006 Rp 748 trilyun, tahun 2007 Rp 801 trilyun, tahun 2008 Rp 906 trilyun, dan tahun 2009 Rp 920 trilyun (www.dmo.or.id). Selain untuk membayai program remunerasi, alias penggenjotan gaji birokrasi, utang tersebut sebagian digunakan untuk kebijakan populis SBY seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), PN-PM Mandiri, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Tahun 2008, Bank Dunia menggelontorkan dana PNPM Mandiri USD 400 juta. Utang ini harus dikembalikan pada 2030, seperti yang tercantum dalam Loan Agreement Nomor 7504-ID yang ditandatangani 6 Juni 2008 .World Bank juga mendanai program BOS senilai USD 600 juta, yang harus dibayar hingga 2033.

Sungguh miris, negeri yang 'katanya' makmur dan berlimpah dengan kekayaan alam ini justru kian tergantung pada utang. Padahal, utang luar negeri Indonesia sangat bermasalah. Selain menggadaikan kedaulatan dan sumberdaya negeri ini, sebagian utang itu juga berupa utang najis. Utang najis (odious debt) atau utang kriminal (criminal debt), adalah pinjaman luar negeri yang telah dikorup oleh pejabat pemerintah dan/atau kroninya.

Dalam laporannya tahun 1997 yang bertajuk Summary of RSI Staff Views Regarding the Problem of 'Leakage' Bank Project Budgets, Bank Dunia memperkirakan minimal 20-30% dana anggaran pembangunan Indonesia diselewengkan. Tak terkecuali proyek Bank Dunia. Laporan internal Bank Dunia “Dice Memorandum” merinci kebocorannya, yaitu di bawah 15% di Departemen Kesehatan dan Departemen Pertambangan dan Energi, 15-25% di delapan departemen (di antaranya pertanian, pendidikan, pekerjaan umum, dan agama), dan lebih dari 25% di empat departemen (di antaranya kehutanan dan dalam negeri).

Utang Luar Negeri Sebagai Alat Penjajahan

Sejatinya gelontoran utang telah membuat kebijakan Pemerintah Indonesia disetir oleh kepentingan asing. Melalui konsep neoliberalis, pemerintah AS berupaya menjajah negara-negara berkembang dengan gaya baru. Lembaga keuangan multilateral seperti IMF dan Bank Dunia akan terus mendorong transaksi utang luar negeri kepada negara-negara berkembang. Cara ini untuk melanggengkan kepentingan AS dalam menguasai perekonomian bangsa-bangsa berkembang, tak terkecuali Indonesia.

Pernyataan John F. Kennedy pada tahun 1962 kiranya membuktikan semua itu. Dia menyatakan, “Bantuan luar negeri merupakan suatu metode yang dengan itu Amerika Serikat mempertahankan kedudukannya yang berpengaruh dan memiliki pengawasan di seluruh dunia, serta menopang cukup banyak negara yang jika tidak dibantu sudah pasti akan runtuh, atau beralih ke dalam blok Komunis.” (Magdoff, The Age of Imperialism, hal.117, dalam Dawam Raharjo, Kapitalisme Dulu dan Sekarang, hal. 120). Oleh karenanya, tak heran bila utang luar negeri dalam berbagai bentuknya akan selalu menampakkan dua ciri utama penjajahan, yaitu pertama, adanya pemaksaan dominasi (fardhu saytharah), dan kedua, adanya eksploitasi (istighlal).

Disamping menjadi alat ampuh penjajahan, sejumlah bahaya utang luar negeri dikemukakan Abdurrahman Maliki, dalam kitab as Siyasatu al Iqtishadiyatu al Mutsla, antara lain: Pertama, utang luar negeri yang diberikan negara-negara Barat Kapitalis kepada negara-negara berkembang (baca: negeri-negeri muslim) adalah salah satu cara yang dilakukan mereka untuk menjajah secara ekonomi negara-negara penerima utang. Kedua, sebelum utang dicairkan, pihak donor pasti akan mengirimkan para pakarnya untuk mengetahui (memata-matai) isi kantong negara tersebut, dengan dalih untuk mengetahui kapabilitas dan kapasitas negara tersebut, sehingga jumlah utang hingga kemampuan pembayarannya pun dapat ditentukan dan dijamin oleh mereka. Taktik kotor semacam ini adalah kemestian yang dilakukan oleh pihak donor, dan hakikatnya mereka dapat menyusun skenario proses pemiskinan dan ketergantungan yang amat canggih berdasarkan hasil mata-mata mereka.

Ketiga, utang luar negeri yang diberikan negara-negara Kapitalis kepada negara-negara berkembang merupakan senjata politik untuk memaksakan kebijakan politik maupun ekonomi, bahkan sistem hukum, sosial dan militer. Tujuan mereka memberikan utang tidak lain untuk menjaga keamanan, eksistensi mereka, dan kemaslahatan dan propaganda ideologi mereka yang Kapitalis, disamping negara-negara berkembang sebagai lahan subur bagi sumber-sumber perekonomian mereka yang konsumtif.

Keempat, utang yang diberikan negara Barat Kapitalis itu hakikatnya sangat melemahkan dan membahayakan ekonomi negara peminjam, terutama utang jangka pendek dengan bunga tinggi. Karena utang yang dicairkan itu berbentuk mata uang asing (dollar AS), dan harus dibayar dalam dollar AS pula, padahal devisa negara peminjam amat miskin dengan mata uang asing itu. Akibatnya, mereka akan memborong dollar yang jauh lebih mahal untuk membayar utang-utangnya. Hal ini akan memukul mata uang mereka dan berakibat munculnya gejolak moneter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun