Saya memperkenalkan istilah baru yaitu PIDATUM alias Pidato Tujuh Menit. Saya rasa, istilah ini belum pernah digunakan sebelumnya.
Istilah ini saya munculkan untuk menanggapi surat Surat Edaran Nomor B.750/Seskab /Polhukam/12/2016 yang mengatur durasi pidato bagi pejabat Negara. Walau pun kesannya surat edaran ini ditujukan kepada para menteri dan pejabat tinggi Negara yang berhadapan langsung dengan Presiden Jokowidodo, namun berkembang menjadi perbincangan semua kalangan. Wacana pun berkembang bahwa semua pejabat harus juga ikut mematuhi surat edaran ini.
Melalui Surat Edaran tersebut, Seskab meminta Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian/Jaksa Agung/Panglima TNI/Kapolri dalam menyiapkan dan menyampaikan sambutan pada suatu kegiatan yang dihadiri Presiden, perlu memperhatikan (a) agar materi sambutan langsung memaparkan dan terbatas pada isu pokok kegiatan dimaksud; dan (b) penyampaian sambutan paling lama 7 (tujuh) menit. Jika begitu, dulu kita mengenal istilah kuliah tujuh menit atau Kultum, maka saya membuat istilah baru yaitu PIDATUM (Pidato tujuh menit).
Pakar Hukum Provinsi Jambi, Musri Nauli, SH telah membahas masalah surat edaran ini dengan judul tulisan di Facebook-nya “KULTUM”. Musri menyimpulkan, Presiden ‘lebay’ jika hal ‘sepele’ ini harus ditentutkan lewat Surat Edaran. Maksudnya, jika hanya untuk membatasi pidato pejabat Negara di hadapan presiden cukup dibisikkan saja ke kuping pejabatnya bahwa Pak Presiden gak suka ‘bertele-tele’. Mungkin sudah sering dibisikkan, tapi tidak diindahkan. Jadi harus pake SE, kalau perlu Perpres, atau bahkan undang-undang. Sekarang banyak pejabat bandel!
Saya tidak perlu lagi membahas Surat Edaran tersebut, cukup baca saja tulisan Bang Musri di FB-Nya. Sudah komplit. Saya hanya ingin mereflekasikan mengapa surat edaran tersebut tercetuskan oleh Presiden? Asumsinya, karena banyak pejabat yang asbun. Ketika pidato, asal buka mulut, ngelantur sana sini, isinya nol. Bagaimana seharusnya pidato yang efektif itu? Inilah fokus tulisan ini; menyelaraskan bunyi dan nisi.
Fakta di lapangan banyak waktu terbuang sia-sia hanya untuk mendengarkan pidato pejabat yang terkesan bertele-tele, tidak penting, dan ngelantur sana-sini. Nah pada tulisan ini saya ingin sedikit mengingatkan kita bagaimana sesungguhnya ‘ilmu’ menjadi public speaker yang tidak asal cuap-cuap. Pidato selesai, audience nguap alias ngantuk semua.
Menjadi public speaker itu sebuah tantangan. Bisa berbicara, memiliki mental yang kuat, memiliki titel yang tinggi, belum jaminan seseorang mampu berbicara di hadapan orang lain. Berpidato bukan hanya persoalan bisa atau tidak bisa, tapi bagaimana membuat sebuah kemasan gagasan dan ide yang mampu diterima dengan baik oleh para pendengar. Pidato itu seni menyampaikan pesan. Maka, untuk sebuah pidato yang apik, sebenarnya ada begitu banyak hal yang harus diperhatikan. Bebrapa diantanya;
Pertama, menentukan tujuan. Tujuan dalam pidato sangat penting. H.C Smedley pernah mengatakan “sebuah presentasi (pidato) tanpa tujuan tertentu adalah seperti sebuah perjanan tanpa tujuan”. Tidak tahu mau kemana, sehingga ngomongnya kemana-mana. Contoh tujuan pidato seperti, memberi informasi, membujuk, melaporkan, menginspirasi, memberi instruksi, menghibur, dll. Sebelum berdiri, tentukan dulu kapan harus duduk.
Kedua, analisa audiensi anda. Saiapa yang mendengarkan anda? Tidak bisa disamakan. Banyak para pejabat gagal melakukan analisa ini. Hasilnya, dimapun dia berdiri bunyi pidatonya sama, isinya sama, panjangnya sama, dan orang yang mendengarkannya pun juga sama bosannya. Audiensi atau pendengar yang berbeda memiliki cara pidato yang berbeda. Itulah seninya.
Ketiga, siapkan skema penting pembicaraan. Dengan menentukan tujuan dan audiensi, maka tulislah pokok-pokok yang harus disampaikan. Jangan lari dari pokok-pokok ini. Memang, biar tidak membosankan, pidato harus dibumbui oleh 'letupan-letupan' segar yang menghibur. Tapi jangan sampai kebanyakan bumbu, isinya malah hilang. Penting sekali untuk membuat skema.
Akhirnya, pidato tidak hanya persoalan bisa berbicara, tapi juga harus mampu menyelaraskan antara bunyi dan isi. Bunyinya harus enak didengar dan isinya harus pula dapat dimengerti. Jika hal-hal di atas diperhatikan, yakinlah dalam tujuh menit semua gagasan dapat disampaikan dengan baik. Mulai hari ini kita sosialisasikan istilah PIDATUM. Mari… #BN20012017 (WA 085266859000)
Oleh; Bahren Nurdin, MA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H