Baru-baru ini Kantor Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Jambi ramai menjadi buah bibir masyarakat. Sayangnya, yang menjadi perbincangan itu bukan torehan prestasi malainkan berita-berita ‘kejahatan’ orang-orang terdidik pengurus kantor pendidikan ini. Ditetapkannya mantan Kepala Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Jambi, Idham Khalid sebagai tersangka oleh Polda Jambi membuktikan memang ada kejahatan yang terjadi di ‘tempat suci’ ini. Memang korupsi negeri ini telah merasuk ke seluruh persendian tubuh bangsa ini. Dinas Pendidikan yang dipercaya untuk mengurusi pendidikan di negeri Jambi ini malah diisi oleh orang-orang bermental korup; tidak terdidik. Dinas Pendidikan Nasional tidak bisa dipisahkan dari sistem pendidikan yang sangat menentukan nasip anak-anak bangsa ini.
Isu ketidak-fair-an dalam seleksi beasiswa yang diselenggarakan oleh kantor ini juga menjadi aroma amis yang berhembus. Tentu, sudah menjadi rahasia umum masyarakat Jambi bahwa penyelenggaraan beasiswa selama ini selalu mengecewakan. Banyak orang-orang yang seharusnya layak dan pantas mendapatkannya malah tersingkirkan, bantuan pendidikan diberikan kepada orang-orang yang sesungguhnya tidak membutuhkan bantuan belajar tersebut. Transparansi system seleksi dan penilaian bagi calon penerima beasiswa tidak pernah dilakukan. Jika memang mau jujur, maka seluruh proses dan hasil seleksi tersebut harus dibuka ke khalayak. Agar tes-tes yang dilakukan tidak terkesan sekedar formalitas, umumkan kepada masyarakat mengapa Mr. X layak memperolehnya dan Mr. Y tidak layak. Umumkan hasil tes dan nilai yang mereka dapat. Dengan cara ini masyarakat tidak dirugikan. Hal ini dapat dilakukan jika memang mau jujur.
Belum lagi cerita miring tentang pelayanan adminsitrasi di dinas ini. Bagi yang pernah berkunjung ke kantor ini pasti merasakan buruknya pelayanan yang diberikan. Dari tim security yang berjaga (front liner) penuh dengan kesombongan dan kepongahan sampai pada pelayanan orang-orang yang ada di dalamnya. Beberapa bulan lalu saya mengajukan permohonan rekomendasi penyelenggaraan Pelatihan Menulis untuk para guru di Provinsi Jambi. Tiga kali saya datang menanyakan surat itu, tiga kali pula saya di ping pong dari satu meja ke meja yang lain tanpa kejelasan. Sampai hari ini, setelah hampir dua bulan surat rekomendasi itu pun tidak pernah ada jawaban.
Sungguh sebuah layanan administrasi yang menyedihkan. Akankah pendidikan di Jambi ini bisa maju jika dikelola oleh orang-orang seperti ini? Buruknya layanan yang diberikan kantor ini tidak dapat dipungkiri karena mereka kehilangan sense of service (pelayanan). Ini adalah institusi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mengelola dan membentuk watak bangsa ini. Seharusnyalah di sini dimulai nilai-nilai sopan santun, saling menghargai, keramah-tamahan, dan sebagainya ditujukkan karena di sini hidup orang-orang yang berbudaya. Namun semua masih jauh panggang dari api.
Mengapa semua persoalan ini terjadi? Tentu banyak alasannya. Penunjukan kepala dinas yang mengomandoi institusi ini sangat menentukan. Pepatah China mengatakan “Ikan Busuk Dari Kepalanya”. Dengan kata lain, busuk kepalanya, maka akan menjalar ke bagian tubuh lainnya. Maka, dari sekian banyak alasan itu, salah satunya adalah politisasi birokrat pendidikan. Politisasi birokrat pendidikan tentunya terjadi di berbagai level di negeri ini; dari menteri hingga kepala sekolah. Di level kementerian tidak perlu didiskusikan kerena memang sudah sama-sama diketahui dan dapat dipastikan bahwa penunjukan seorang menteri merupakan hak prerogatif presiden untuk memilih menterinya berasal dari partai mana. Bagi-bagi kue kekuasaan berdasarkan pertimbangan politik. Namun persoalannya bagaimana jika politisasi semacam ini dipasagkan pada level kepala dinas dan kepala sekolah? Ini sangat perlu dicermati karena pada level ini sudah berada pada level operasional dan professional. Maksudnya, di level kepala dinas dan kepala sekolah, kebijakan yang diambil sudah sangat operasional yang memerlukan pengalaman dan pengetahuan juga keahlian di bidang pendidikan yang tidak bisa didasarkan pada pertimbangan politis semata.
Seorang kepala dinas seharusnya tidak bisa ditunjuk oleh gubernur atau bupati hanya semata kerena pertimbangan politis karena seseorang (birokrat) itu merupakan tim sukses atau pendukung gubernur atau bupati berkuasa. Seyogyanya jabatan ini harus diisi oleh para birokrat yang memiliki ilmu dan pengalaman di bidang pendidikan. Dia harus mengetahui seluk beluk dunia pendidikan, dari persoalan guru hingga kurikulum dan hal-hal detail lainnya. Sehingga kebijakan yang diambil benar-benar tepat tidak semata pertimbangan proyek belaka.
Hal inilah yang terjadi selama ini. Maka dari itu, jika tidak ingin kasus-kasus seperti ini terus berulang, sudah sepantasnya jabatan-jabatan di dalam dunia birokrasi pendidikan untuk tidak dipolitisasi karena akan mengabaikan nilai-nilai profesionalitas. Para kandidat kepala daerah jangan lagi menjadikan jabatan kepala dinas pendidikan dan kepala sekolah sebagai ‘hadiah’ atau iming-iming bagi para pendukung di lingkungan pendidikan. Pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman harus menjadi pertimbangan utama jika kita ingin pendidikan di negari ini semakin membaik. Potret buram ini seharusnyalah secepatnya dibersihkan. Semoga.
Bahren Nurdin, SS., MA
Dosen IAIN STS Jambi dan Sekjen Pelanta (NIA: 201307003)
Note: Tulisan ini sudah dimuat di harian Jambi Ekspres (JPNN) tgl 2 November 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H