Newar mengernyitkan dahi.
Tau sekretarisnya bingung, Ama ni Ogol melanjutkan, "Pak Sugianto datang ke rumah tadi malam. Katanya, saya koruptor yang baik. Saya mencuri, tetapi untuk kepentingan masyarakat. Lagipula, katanya lagi, yang saya curi itu gak seberapa dibanding kerja keras saya mengurus masyarakat."
Di dalam hati, Newar menggumam, "Saya, Pak, yang paling capek. Tapi bapak makan daging, saya hanya dapat tulangnya." Tetapi senyumnya tetap mengembang. Asal bapak senang, batinnya lagi.
Setumpuk kertas yang dibawa Newar dibolak-balik Ama ni Ogol sambil tersenyum. Dia hanya membaca sekilas saja, sebab telah percaya pada sekretarisnya itu. Lagipula, laporan itu gak penting. Hanya rutinitas yang gak akan diperiksa.
Di luar ruangan, para pegawai menunggu dengan was-was. Mereka berharap, kebahagiaan Ama ni Ogol pagi itu, menular ke mereka. Doa pun dipanjatkan. Entah sampainya kemana, mereka tak ambil pusing. Pokoknya memejamkan mata, itu sudah berdoa. Dan berharap keajaiban datang.
"Pak," kata Newar setengah berbisik. Ama ni Ogol mempersilahkannya bicara hanya dengan isyarat kepala. "Apa saya akan diajak ke surga?"
"Oh tentu. Sebagai jaminannya, pagi ini kamu akan dapat bisikan dari surgawi."
"Apa itu, Pak," kejar Newar.
"Saya akan dapat gaji pensiun dua kali lipat." Newar terkejut terheran-heran. Mata membelalak, bibir tersenyum -- berharap akan dapat jatah. "Sekali sebagai pejabat. Sekali lagi sebagai koruptor."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H