Mohon tunggu...
Mikchel Naibaho
Mikchel Naibaho Mohon Tunggu... Novelis - Pembaca. Penjelajah. Penulis

Pegawai Negeri yang Ingin Jadi Aktivis Sosial

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Indonesia Setelah Pembukaan Asian Games

21 Agustus 2018   13:28 Diperbarui: 21 Agustus 2018   14:59 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto :kompas.com

Hampir tiga hari belakangan ini, saya disibukkan dengan pertanyaan, apa lagi yang bisa membuat bangsa ini bersatu dalam rasa haru menyaksikan prestasi atau pencapaian negeri ini. 

Acara pembukaan Asian Games yang begitu memukau terlepas dari besarnya biaya yang dikeluarkan, toh tak bisa membuka mata kita akan kemampuan bangsa ini. Sedemikian dalam kah kebencian hingga kita tak bisa melihat prestasi sesama anak bangsa?

Mungkin masuk akal alasan beberapa orang yang tak setuju bahwa dana itu terlalu besar untuk upacara pembukaan, dan kritik itu bukan lahir dari kebencian yang menggunung. Tetapi 'besar' itu bila dibandingkan gaji buruh tani per bulan yang bekerja menggarap ladang tuan tanah. Maka coba bandingkan dengan kekayaan konglomerat, yang tanpa rasa kehilangan menghamburkan duitnya hanya untuk posisi politik. Apa masih besar?

Hitung-hitungan di atas mungkin hanya jawaban singkat bagi yang mengkritik pembukaan perhelatan olahraga se-benua Asia itu dari sisi biayanya. Dua paragrap di atas tak akan bisa menjawab pengkritik yang menyerang dengan pertanyaan, apakah Pak Jokowi pakai peran pengganti atau tidak; atau apakah Via Vallen benar-benar bernyanyi di atas panggung atau lipsync. Apalagi kritik-kritik yang mengaitkannya dengan tahun politik. Saya masih bingung dengan kritik itu dan bertanya-tanya, apakah karena tahun politik seharusnya Pak Jokowi tak bisa membuka pesta olahraga se-Asia ini?

Banyak orang yang menjadi bodoh dan gila di tahun politik ini. Nafsu untuk berkuasa mengubur suara hati. Bila terus-terus dibiarkan, negeri ini bisa hancur. Maka sewajarnyalah, orang yang masih bisa berpikiran sehat dan mencari dampak positif dari setiap peristiwa besar di negeri ini, bersuara. Entah itu lewat tulisan, lagu, ataupun kreatifitas lainnya. Setidaknya, menyelamatkan wong cilik dari rongrongan penguasa oportunis atau pengusaha serakah.

Misalnya, dari pembukaan Asian Games pada tanggal 18 Agustus yang lalu, kita sekarang yakin bahwa banyak anak bangsa yang bisa merancang acara berkelas dunia. Selain menumbuhkan keyakinan bagi generasi mendatang, acara tersebut juga mengundang pengakuan dunia internasional. Mungkin mereka akan berkata, "Wow...Indonesia sudah siap!"

Itu bukan khayalan. Sebagai contoh, beberapa kali saya mendapati kenyataan bahwa orang-orang kota meremehkan kemampuan orang desa dalam mengorganisir suatu kegiatan. Padahal masalahnya bukan di kemampuannya, tetapi penduduk desa tak pernah mendapat kesempatan sebanyak mereka yang tumbuh di kota besar. 

Bayangkan seperti inilah yang terjadi di dunia internasional. Kemampuan masyarakat kita diragukan untuk perhelatan-perhelatan dunia. Dan dengan pengakuan itu, bisa saja makin banyak digelar pertandingan olahraga di negeri ini -- yang dengan sendirinya meningkatkan perekonomian kita.

Dengan kepercayaan tersebut, masyarakat kita kelak akan tumbuh dan berkembang dengan melihat berbagai kegiatan dalam jarak yang dekat. Kegiatan itu akan mengubah dan mengokohkan karakter. Kita semua tahu, bertahan dalam kesombongan -- seperti seekor katak dalam tempurung -- bukanlah cara yang baik dalam pergaulan internasional.

Atau jika penjelasan di atas terlalu utopis, lihatlah dampak yang seharusnya bisa kita rasakan dengan menyaksikan pertunjukan seni budaya di upacara pembukaan itu. 

Kekayaan budaya tersebut, tanpa perlu penelitian yang mendalam atau penjelasan buku berjilid-jilid, menunjukkan negeri kita terdiri dari masyarakat yang jenius. Kenapa jenius? Sebab tinggal di daratan yang sama, nenek moyang kita dulu bisa mencipta budaya yang berbeda. Pemikiran ini, bisa membawa kita berjalan lebih kencang mengikuti arus zaman. Kita bisa, dan tak terlahir untuk menjadi pesakitan yang ditakdirkan untuk terus tertinggal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun