Sehari sebelum hari ulang tahun republik ini, saya melihat foto-foto kecelakaan lalu lintas di media sosial. Kecelakaan itu antara truk dan sepeda motor. Korbannya dua orang lelaki dewasa. Menurut yang tertulis di media itu, kedua laki-laki tersebut adalah seorang mertua dengan menantunya, yang akan menemani istrinya melahirkan di rumah sakit.
Dari foto-foto yang ada, darah tumpah di sekitar korban. Dari posisi kaki salah seorang korban, ditebak tulangnya sudah patah. Yang paling mengerikan, terdapat otak di atas rumput di tepi jalan tak jauh dari posisi korban -- dari isu yang beredar, supir truk dengan sengaja mengilas si korban beberapa saat setelah kecelakaan terjadi untuk memastikan korban benar-benar mati. Alasannya, biaya yang dibayarkan akan lebih murah bila korban mati daripada cacat seumur hidup.
Saya bisa membayangkan betapa sakit yang dirasakan istri dan kesedihan anak yang baru lahir di kemudian hari, saat tahu ayahnya meninggal ketika akan menyambut kelahirannya. Mengerikan bukan?
Ugal-ugalan di jalan raya, mengejar setoran, mencari nafkah di jalanan dengan meniadakan nasib orang lain, adalah cerita yang biasa di masyarakat kita. Saking biasanya, kita hanya memaklumi bila terjadi kecelakaan dan tidak ada tindakan selanjutnya dari pihak yang berwenang untuk mencegah kejadian serupa terjadi. Padahal bisa saja itu tragedi yang sangat-sangat menyakitkan bagi korban : seseorang meninggal sementara dia adalah tulang punggung keluarganya; si supir di penjara, dan itu tak berarti bagi keluarga korban yang ditinggal.
Di salah satu jalanan kota Medan, Ring Road, peristiwa kecelakaan yang mengerikan sudah sangat sering terjadi. Saya pernah menjadi korbannya, dan 42 jahitan di atas betis harus saya terima. Yang paling menyedihkan adalah pemikiran yang tertanam di benak masyarakat bahwa kalau ada jalan lain, jangan melintasi Ring Road. Kenapa tidak pengendara saja yang ditertibkan?
Dari pengamatan saya, truk, angkot, dan becak menjadi penyebab yang paling sering di dalam sebuah kecelakaan. Sebabnya tak lain adalah si supir yang mengendara sesuka hatinya. Tiba-tiba berhenti untuk menaik-turunkan penumpang, salah satu contoh yang sudah diketahui masyarakat luas dan dimaklumi. Supir truk yang kencang dan egois, dengan alasan untuk menjaga barang bawaannya agar selamat, contoh lain yang mendapat pemakluman dari masyarakat.
Sampai Kapan Tragedi Ini Berulang?
Pihak yang berwenang bisa saja menertibkan para supir dengan cara mendata lalu menguji kemampuan dan pengetahuan supir dalam mengendara. Bila memungkinkan, supir juga perlu diwawancara seorang psikolog untuk mengetahui kejiwaan si supir. Sebab menurut saya, seorang supir yang lebih mementingkan setoran dibanding nyawa orang lain adalah seseorang yang terganggu kejiwaannya.
Kalau bisa juga, Pengusaha di balik truk dan angkot ditertibkan. Bila ada kecelakaan, jangan hanya si supir yang dihukum. Perusahaan pemilik truk juga harus dihukum. Pemilik angkot juga demikian. Saya pernah melihat di badan truk tertulis : jika supir mobil ini ugal-ugalan, hubungi nomor ini. Cara itu bisa dilakukan pihak yang berwenang.
Saya berharap pihak berwenang mulai memikirkan untuk menyudahi tragedi ini. Bila tidak, kemarahan dan kekecewaan masyarakat yang menggunung akan menimbulkan tindakan main hakim sendiri. Sebagai contoh, dulu saya pernah mendengar, di salah satu jalan raya di kota Medan, kenderaan yang melaju kencang akan dilempari dengan batu.
Kita tentu tak menginginkan hal tersebut terjadi, sebab bisa saja salah sasaran dan melahirkan tragedi yang lebih mengerikan.